TEMPO.CO, Jakarta - Ventha Lesmana, General Manager Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI), mengungkapkan dari tahun ke tahun kasus pembajakan karya musikus tidak juga bisa dibendung. Bahkan, semakin lama, jumlah pembajakan album musik dalam bentuk cakram kian bertambah.
“CD yang beredar di pasaran itu 95 persen bajakan dan yang orisinal hanya 5 persen. Jadi bayangin aja, kalau cuma 5 persen, kami enggak bisa hidup,” ujar Ventha kepada Tempo saat ditemui di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa, 20 Oktober 2015.
Menurut Ventha, salah satu penghambat pemberantasan pembajakan itu justru tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Misalnya, kata Ventha, jika merujuk ke undang-undang, polisi baru bisa menindak pembajak setelah mendapat laporan, meskipun pembajakan kini terang-terangan bisa disaksikan di pusat belanja.
“Pembajakan justru diperparah dengan delik aduan UU Hak Cipta yang baru (tahun 2014). Korban (label yang karyanya dibajak) harus melapor dulu ke polisi, barulah polisi bergerak. Itu dilema kami salah satunya,” ujarnya.
Saat menyampaikan aduan pun korban juga selalu dipersulit oleh regulasi yang rumit. “Lucunya, mereka (polisi) minta aduaannya yang spesifik. Seperti alamatnya di mana, nama pelakunya siapa, terus minta bukti pembayaran. Kami kan korban, mana sempat tanya-tanya,” tuturnya.
Belum lagi tindakan baru akan dilakukan oleh polisi pada tujuh hari setelah pengaduan. Menurut Ventha, inilah yang menyebabkan pembajakan terus menjamur karena lambatnya penanganan.
“Penindakan harus dilakukan kontinu. Jangan satu hari ditindak, terus baru tiga bulan lagi ditindak. Seharusnya setiap ada pembajakan harus langsung dihajar, ada lagi, hajar lagi,” tuturnya.
LUHUR TRI PAMBUDI