TEMPO.CO, JAKARTA—Suku Yanomani yang hidup di belantara Amazon selama dasawarsa 1960-1970an sempat menjadi primadona riset antropologis karena keasliannya yang belum terjamah dunia luar. Tiga puluh tahun kemudian, gugatan dilancarkan pada peneliti di era itu. Nicholas Chagnon, peneliti yang tinggal lama di sana dikritik sesama antropolog Kenneth Good. Sebab, Chagnon menggambarkan suku Yanomani sebagai suku bengis yang suka berperang. Riset Chagnon yang menyebut malprotein terjadi dalam suku tersebut juga dikritik habis oleh Kenneth Good yang beristerikan seorang putri dari suku tersebut. Chagnon balik membalas kalau Good adalah seorang pedofil, karena menikahi putri kepala suku yang masih berusia 11 tahun. Good sendiri menerbitkan buku tentang pernikahannya dengan putri Yanomani layaknya kisah cinta antara peneliti dan objek yang diteliti.
Kepala suku Yanomani mengatakan kalau pernikahan itu untuk mengikat orang asing dengan suku. “Sebab, Naba (orang asing) selalu membawa benda-benda yang bermanfaat.” Lalu adegan bergeser pada awal film God Must be Crazy (1999). Dalam film tersebut, Xi dari suku Bushmen menemukan botol kosong Coca Cola yang jatuh dari langit—tepatnya dibuang oleh pilot pesawat. Lalu botol tersebut dimanfaatkan secara bergantian oleh penduduk desa, hingga akhirnya menimbulkan pertengkaran. Lalu pertanyaan itu muncul : “Apakah pertemuan dengan mereka yang ada di luar suku selalu menimbulkan bencana?”
Semuanya direkam dalam film dokumenter berjudul Segredos da Tribo atau Secrets of The Tribe yang dibuat pada 2010. Dalam Festival Film Eksperimen dan Dokumenter Internasional Arkipel 2015, film ini ditayangkan Kamis, 27 Agustus 2015 dalam segmen Constructing/Deconstructing Illusion/Reality di Goethehaus Jakarta. Film ini mencatat kritik dan perdebatan akademis dalam dunia antropologi dan metode penelitian etnografi hingga saat ini. Apakah kehadiran peneliti tidak mempengaruhi kelompok yang diteliti?
Chagnon, membawa dokter-dokter dari Amerika untuk menyuntikkan vaksin cacar. Tepat setelah kepergian Chagnon dan dokter-dokter itu, suku Yanomani yang selama ini sehat justru sakit karena cacar. “Sebanyak 30 orang meninggal di desa kami. Aku kehilangan lima orang anggota keluarga, Kini hanya aku yang tersisa,” kata seorang Yanomani tua dalam film itu sembari tersedu. Chagnon yang kerap membawa benda-benda berharga seperti parang juga dituding menjadi pihak yang merusak keaslian suku itu. Parang itu digunakan untuk berperang, Sebelumnya, tak ada perkelahian yang melibatkan parang atau besi-besi lainnya.
Rekan Chagnon, Jacques Lizot juga dituding sebagai peneliti yang mengeksploitasi anak laki-laki suku Yanomani dalam hubungan homoseksual. Sejumlah lelaki dari suku ini menceritakan bagaimana Lizot mengiming-imingi benda-benda seperti tempat tidur gantung, tape recorder hingga motor agar mereka memenuhi hasrat seksual dari Lizot. Sejumlah ahli bahasa juga mengungkapkan keheranan mereka atas piawainya Lizot mengungkap bahasa-bahasa lokal yang berhubungan dengan seksualitas dalam buku-bukunya.
Film ini dibuat dengan standar teknik dokumentasi. Banyak mengambil kutipan-kutipan wawancara antar antropolog layaknya talking-news. Keistimewaan film ini adalah membongkar pelanggaran etika yang dilakukan peneliti saat melakukan penelitian. Film ini pernah diputar di Sundance Film Festival 2015 dan merupakan dinominasikan untuk memperoleh Grand Jury Award.
AMANDRA MUSTIKA MEGARANI