Sementara itu, Reza Enem, seorang seniman musik dan anggota grup musik independen Makassar—Theory of Discoustic—mengatakan akan membuat instalasi dan mengerjakan seni suara. Adapun perupa Firman Djamil dan arsitek M. Cora telah membidik lokasi di tepian Sungai Ciliwung untuk karya-karyanya nanti.
“Jakarta Biennale tahun ini sudah meninggalkan seni dekorasi. Tapi bagaimana seni diciptakan bisa mengedukasi lingkungannya,” kata Firman sambil menekankan, “Yang diharapkan adalah pendidikannya.”
Cora menyetujui pernyataan itu dengan memaparkan rencananya untuk mendesain ulang permukiman di tepi Kali Ciliwung. Cora bersama komunitasnya, Arsitek Komunitas Makassar, selama ini telah mengerjakan penataan beberapa kampung di Kota Makassar, seperti Kampung Pisang di Kelurahan Maccini Sombala, Kecamatan Tamalate, serta kampung nelayan di Sengkabatu, Buloa, dan Mangarabombang.
Cora telah merancang, pertama-tama, akan berdialog dengan warga setempat untuk mengetahui kondisi dan harapan mereka. Bukan cuma rumah, dia berencana pula menata balai warga, kebutuhan sanitasi, tempat bermain, pasar, sampai penanganan bencana di tengah permukiman itu. “Warga harus terlibat, karena mereka yang tahu persis kondisi kampung dan mereka juga yang akan menjaga keberlanjutannya,” kata pemuda kelahiran Makassar, 11 Februari 1983, ini.
Jimpe menegaskan, setiap karya butuh proses kreatif yang panjang. Dia sendiri mengaku belajar dari Firman tentang bagaimana seni mengerjakan sesuatu. Firman dinilainya bergiat membuat karya seni instalasi dengan bahan-bahan dari alam yang bisa hancur dan tidak meninggalkan sampah.
Jimpe sendiri memiliki mimpi mengusung seni tanpa kanvas. Harapannya, bisa menjadi rujukan baru dan karya yang dihasilkan betul-betul mampu menghidupkan wacananya. “Kami ingin menghadirkan model baru perkembangan seni rupa di Makassar,” kata dia, sambil menambahkan, “Seorang seniman tidak mesti menjadi seniman yang selama ini kita pahami.”
REZKI ALVIONITASARI | IRMAWATI