TEMPO.CO, Jakarta - Nama orang ini mungkin tak banyak diingat orang. Tapi, di kalangan sutradara lawas dan dunia film, nama Njoo Han Siang adalah sebuah nama yang disegani, dikagumi, tapi sekaligus disebali. Tetapi justru dari dialah film berwarna Indonesia mulai bicara hingga berkembang seperti saat ini.
Nama Njoo ini disebut-sebut dan dipuji dalam diskusi "Njoo Han Siang dan Cerita Produksi Film Hari Ini", di Studio 1 Taman Ismail Marzuki XXI, Selasa malam, 26 Maret 2013. Tiga orang dekat Njoo "menghadirkan lagi" sosok pria unik ini. Mereka adalah Rudy S. Sanyoto (cucu Njoo), Slamet Rahardjo Djarot, dan Hendrick Gozali--produser-komisioner di Magma Entertainment. Diskusi semalam cukup hangat dengan cerita mereka bertiga.
“Mengenang Njoo ada baiknya juga, pantas dikenang. Ada banyak hal baik yang bisa diambil dari dia,” ujar Slamet Rahardjo Djarot.
Kineforum mengangkat sosok Njoo Han Siang bukan tanpa alasan. Njoo adalah tokoh perfilman dengan kontribusi yang cukup besar. Mereka mengangkat nama Njoo sebagai bagian dalam program "Sejarah adalah Sekarang 7" untuk memperingati Bulan Film Nasional.
Dialah yang mendirikan PT Inter Pratama Studio Laboratorium (Inter Studio) yang bertujuan membebaskan film Indonesia dari ketergantungan luar negeri. Inter Studio merupakan sebuah laboratorium film berwarna pertama di Indonesia yang memiliki fasilitas seperti rekaman suara, efek suara, pemaduan suara, sunting musik, alih suara, dan efek gambar.
Biasanya, para sutradara memproses filmnya di Hong Kong atau Tokyo. Mereka harus mengeluarkan biaya yang cukup tinggi dan makan waktu. Harapan Njoo, Inter Studio ini mampu memproduksi film Indonesia yang bermutu, mendidik, dan menjadi tuan di negeri sendiri. Hendrick bercerita bagaimana tindakan Njoo untuk mendukung komunitas film saat itu. Dia juga bercerita ketika dia harus mendanai sejumlah film yang menjadi ambisi Njoo. Sedangkan Rudy bercerita perkembangan studio yang dirintis kakeknya itu.
Njoo adalah tokoh unik yang membantu memproduksi film yang berkualitas. Menggandeng sutradara Teguh Karya, Wim Umboh, dan Slamet Rahardjo Djarot, muncullah film-film yang diacungi jempol. Sebagian besar film-film itu mendapat pengakuan dunia internasional di berbagai festival. Beberapa film itu antara lain November 1828 (1978), Chicha (1976), Usia 18, Rembulan dan Matahari, dan Duo Kribo.
Selain Njoo, acara ini juga mengangkat tokoh Miscbach Jusa Biran dan filmnya. Juga film-film pendek yang dikuratori oleh Adrian Jonathan Pasaribu.
DIAN YULIASTUTI