TEMPO Interaktif, London - Beberapa pekan lalu, saat debat mengenai kendali perbatasan di Eropa berkecamuk di tengah ketakutan yang disulut oleh surat kabar terhadap imigrasi besar-besaran dari Afrika Utara, saya meluncur ke London Timur untuk melihat para aktor relawan menampilkan sebuah drama dokumenter yang berjudul On a Clear Day You Can See Dover.
"Saya berumur 13 tahun dan saya di sini di Calais bersama dua sepupu saya, yang berumur 10 dan 11 tahun. Kami sendirian di sini. Kami pergi sendiri dari Afganistan ke Calais. Sangatlah buruk di sana (Afganistan), tidak ada listrik, di sana tidak seperti di sini. Ibu kami membayar para penyelundup untuk membawa kami ke Inggris, masing-masing 3.000 euro."
Demikianlah cerita Ahmed bermula, dan ceritanya tambah luar biasa karena cerita ini memang benar terjadi.
Penulis drama Sonja Linden merekam cerita Ahmed sebagai salah satu cerita yang digali di pelabuhan Calais (perbatasan Prancis) dan sekitarnya pada September 2009. Untuk menunjukkan imigrasi sebagai sebuah isu HAM Eropa, ia mengumpulkan berbagai kesaksian dari orang-orang yang terlibat–para migran, warga Prancis, pembuat kebijakan, akademisi dan aktivis LSM. Hasilnya adalah On a Clear Day, satu dari beberapa drama yang dipentaskan oleh kelompok teater HAM yang Linden dirikan, bernama Ice and Fire.
Ketika Linden pertama kali bertemu Ahmed dan kedua sepupunya di sebuah pusat distribusi makanan di Calais, mereka mengaku telah pergi dari Jalalabad di Afganistan melewati Iran, Turki, Yunani, dan Italia sendirian, untuk lari dari orang-orang yang telah menculik ayah mereka yang merupakan para politikus delapan tahun sebelumnya. Sebuah desas-desus bahwa salah satu dari ayah mereka pernah terlihat di Birmingham telah mendorong ibu mereka mengirim mereka sendirian, dengan bantuan para penyelundup, melintasi Eropa menuju Inggris.
Di panggung, tokoh Ahmed, yang diperankan oleh seorang aktor, menceritakan bagaimana di atas sebuah kereta di perbatasan Italia-Prancis ia berpura-pura tidak mengerti permintaan seorang polisi yang menanyakan paspornya. Terharu dengan keberanian mereka, sang polisi–yang dimainkan oleh seorang aktor juga–memutuskan membiarkan mereka melanjutkan perjalanan alih-alih menahan mereka. Saat polisi itu meninggalkan kereta, ia berpaling, dan mengacungi mereka jempol, dan berkata, "Semoga sukses!"
Seperti kisah-kisah lain yang diceritakan dalam On a Clear Day, cerita Ahmed memasukkan rasa kemanusiaan ke dalam sebuah isu yang sering kali dilihat hanya lewat kacamata nomor berkas dan kuota maksimum, serta menentang prasangka para penonton tentang para imigran.
Para migran bisa saja adalah anak-anak berani yang tidak didampingi orang tua, yang sering kali mengungsi dari konflik. Pada 2009, dari 13.885 anak-anak tanpa pendamping yang tercatat tiba di Eropa, separuhnya adalah anak-anak muda Afganistan. Para migran bisa pula anak terpelajar: Ahmed ingin menjadi seorang dokter, sedangkan tokoh nyata lainnya dalam drama tersebut adalah seorang pelajar dari Iran.
Drama-drama dokumenter Ice and Fire bertujuan mengubah hati dan pikiran, kata Linden, dengan menciptakan teater dokumenter yang menyapa, sehingga masyarakat bisa mengenal orang-orang yang biasanya dijelek-jelekkan.
Tapi, apakah itu berhasil?
November lalu, Ice and Fire mempertontonkan salah satu drama dokumenternya ke staf keimigrasian Inggris (UKBA). Dua dari para pencari suaka yang ceritanya dikisahkan dalam drama tersebut hadir, dan beberapa pekerja UKBA sangatlah terharu. Menurut staf Ice and Fire, karena meski mereka memproses berkas para pencari suaka setiap hari, mereka mengatakan: "Kami tidak pernah bisa bertemu mereka!"
Meski perlahan, Ice and Firetelah berhasil menuturkan cerita-cerita dari orang-orang yang tidak pernah bersuara, langsung kepada khalayak umum yang sebelumnya tidak punya ketertarikan, dan kepada para pekerja kesehatan, dewan dan pemerintah yang di tangan merekalah terletak masa depan orang-orang itu.
Ice and Fire, bersama prakarsa-prakarsa kreatif lain yang meningkatkan kesadaran masyarakat tentang keadaan buruk para pengungsi, mengubah wajah debat keimigrasian yang menjemukan, sebuah permainan angka yang kini berfokus pada migrasi dari Afrika Utara ke Eropa, yang terlampau sering menyingkirkan rasa kemanusiaan.
Alice Hackman adalah jurnalis lepas di London. Blognya tentang Yaman, negara tempat ia menghabiskan dua tahun sebagai wartawan dan redaktur fitur Yemen Times, adalah aliceauyemen.blogspot.com. Artikel ini disebarluaskan oleh Kantor Berita Common Ground (CGNews).