Diiringi bunyi kendang bertalu-talu, dia terus menari-nari. Telunjuk menunjuk-nunjuk, kepala manggut-manggut. Sedangkan badannya terus meloncat. Tak ayal, perut gembul bocah kelas V SD itu ikut bergoyang naik-turun hingga memancing gelak tawa puluhan pasang mata yang menyaksikan.
Beksan Paka-Cucu--demikian nama tarian yang dimainkan Jamal, putra pertama Sudarmo Sumekto--itu merupakan pembuka refleksi tari klasik gaya Yogyakarta untuk mengenang 1.000 hari wafatnya KRT Pangarsobroto, kakek Jamal.
Tarian dengan gerakan mirip cara berjalan Semar--tokoh punakawan--itu sengaja dibuat Sudarmo Sumekto untuk menghormati ayahandanya, KRT Pangarsobroto. "Agar generasi muda mau melestarikan budaya Jawa," kata Jamal seusai pementasan.
Selain Beksan Paka-Cucu, ada dua tarian lain yang dipentaskan di pendopo Ndalem, yang terletak di Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta, yakni tari Klana Topeng, yang dibawakan Sudarmo Sumekto, dan Beksan Paba, yang dimainkan oleh sembilan penari laki-laki.
Berbeda dengan Beksan Paka-Cucu, yang berlangsung sekitar 5 menit, tari Klana Topeng berlangsung lebih lama, sekitar 15 menit. Tari ini bercerita tentang Pangeran Kelana (Kelono) yang tengah tergila-gila kepada Dewi Sekartaji. Dulu, semasa almarhum Pangarsobroto--yang dikenal juga sebagai sosok penari Jawa tradisional--masih hidup, Sudarmo kerap diminta memainkan tarian itu di Yogyakarta hingga ke luar negeri.
Dibanding Beksan Paka-Cucu, yang diciptakan Sudarmo, gerakan Klana Topeng lebih gemulai. "Bapak senang sekali dengan tari ini," kata Sudarmo, yang dikenal juga dengan nama Icuk Ismunandar.
Sebagai puncak acara 1.000 hari bertema "Untukmu Penghiasku" itu, Sudarmo mementaskan tari Beksan Paba. Dimainkan sembilan orang. Tari ini dibuat Sudarmo tiga bulan lalu.
Ide gerakannya berasal dari tari Bedhaya gaya Yogyakarta. Tapi, kata dia, gerakannya sudah dirombak. Semisal, saat penari memasuki ruang pementasan. Dengan iringan drum dan suling, yang merupakan instrumen pasukan musik Keraton mengiringi penari berjalan berkacak pinggang. Petantang-petenteng. "Belum banyak Bedhaya yang gagah," kata dia menjelaskan.
Selain itu, dalam tari Bedhaya Yogyakarta, semua gerakannya penuh makna simbolisasi. Sedangkan dalam Beksan Paba, Sudarmo justru membuat kebalikan dari gerakan itu. Dia lebih banyak menampilkan gerakan yang realistis. Dari gerakan yang diciptakan itulah justru tampak tarian yang lebih berani dan jujur.
Di tengah adegan tari, misalnya sembilan penari telah kecapekan. Maklum, waktu satu jam cukup menguras habis tenaga mereka. "Ngombe (minum)!" teriak penari bersamaan. Senampan air dalam botol minuman mineral segera terhidang. Adegan tari terhenti dan mereka duduk bersama untuk menikmati minuman.
Beksan Paba memang tak kaku, baik dalam gerak maupun cerita. Selain adegan minum bersama para penari yang memancing gelak tawa penonton, terdapat adegan dua penari memainkan jamuran. Bedanya, syair yang dinyanyikan dalam dolanan anak yang biasa didialogkan dua anak itu telah dimodifikasi. Isinya lebih pada cerita kondisi masa kini:
Jamuran yo
Jamur opo
Jamur gajih mbejijih
Jamur opo
Jamur ulat bulu
ANANG ZAKARIA