Meski masih menjadi polemik, pemilik rumah yang baru Alwi Muhammad Mubarok memutuskan merobohkan rumah itu. Beberapa pekerja tampak menurunkan genteng bagian utara rumah induk yang bersebelahan dengan Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB) Immanuel.
Dari pantauan Tempo, penurunan genteng ini dilakukan setelah pengosongan rumah induk selesai sekitar pukul 10.30 WIB. Menggunakan pick up, barang-barang pribadi pendiri Komando Distrik Militer itu diangkut keluar rumah. "Saya hanya pekerja di sini. Maaf, wartawan tak boleh masuk," kata Lama, seorang pemuda berusia sekitar 30 tahun kepada Tempo yang mencoba memasuki halaman rumah, Kamis 14 April.
Hingga saat ini sejumlah pekerja masih menurunkan atap rumah sebelum dibongkar. Rencananya rumah bersejarah itu akan disulap menjadi lapangan futsal, cuci mobil, kafe, dan apartemen. Ahli waris menjual rumah itu kepada seorang investor dengan nilai Rp 5 miliar.
Pembongkaran itu dikecam keras sejumlah budayawan Kediri. Bardi Agan, salah satu pemerhati cagar budaya yang juga dosen Universitas Nusantara PGRI Kediri mengatakan rumah tersebut dalam status pengusulan menjadi cagar budaya oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan. "Harusnya tak boleh ada yang mengutak-atik sebelum proses itu selesai," katanya.
Pembongkaran ini juga dituding sebagai perilaku barbar terhadap benda bersejarah, dimana rumah itu berdekatan dengan gereja merah yang telah ditetapkan menjadi cagar budaya. Ini juga menunjukkan ketidakmampuan Pemerintah Kota Kediri untuk melindungi rumah bersejarah yang ada. Apalagi pemerintah sempat berencana menjadikan rumah itu sebagai museum perjuangan pada 2000.
Kabag Humas Pemkot Tri Krisminarko menyatakan tak bisa berbuat apa-apa atas pembongkaran ini. Sebab ahli waris telah menandatangani akta jual beli kepada pemilik yang baru. "Itu hak ahli waris," katanya.
Kalangan pekerja media di Kediri juga kurang antusias karena beberapa hari menjelang penghancuran kabarnya ada gerakan “serangan fajar” terhadap pekerja pers. “Kok jadi sepi ya pemberitaan soal rumah itu,” kata Dona, salah seorang warga Kediri pecinta sejarah. “Semoga bukan karena terbeli.”
HARI TRI WASONO