TEMPO Interaktif, Jakarta - Dua sosok manusia, nampak mengenakan kostum adat Papua, berada di depan laptop pink bergambar apel yg sisinya bekas gigitan. Ya, itulah Macintosh, merek produk komputer yang menjadi ikon terhebat saat ini. Tak jauh dari mereka, ada kalimat, “The Power Equality” di atas cetakan ISBN yang tampak samar bernuansa abu-abu. Apakah tulisan itu sebuah pesan? Ataukah hanya ingin menampilkan kontrasnya teknologi dengan kehidupan suku Irian yang sering dianggap masih terasing?
Itulah The Power (2010), salah satu karya dari E. Muheriyawan (Jange Rae), perupa kelahiran Bandung, 1974. Karya ini hadir bersama dengan karya-karya Sugihartono (Gresik, 1967) dalam pameran bertajuk “Urban in Between” yang berlangsung 23 Maret – 5 April 2011 di Philo Art Space, Kemang, Jakarta Selatan.
Bajaj, skateboard, bungkus McDonald, Popeye, potongan komik Roy Lichenstein, Marylin Monroe, Mickey Mouse, lampu lalu lintas, rambu-rambu, gedung pencakar langit, trotoar, Sale, kotak sampah desain masa kini, sepeda BMX, dan sebagainya. Sekilas, hampir dapat dipastikan kita mengenali bahwa itu adalah elemen-elemen yang ada di kota-kota besar, singkatnya, “ikon ibukota.”
Tak ada yang khas mungkin bila mereka masing-masing, misalnya, berpameran tunggal. Namun, ketika dihadirkan bersamaan di bawah tema yang sama, cara masing-masing menuangkan ide dan ekspresinya – dengan segala kekontrasannya, muncul karakternya. Melalui yang kontras itu, kita seperti menemukan semacam “vibrasi” – getaran, tegangan hasil dari perpaduan keduanya.
Secara teknis, keduanya menarik – cara menampilkan budaya dan atmosfer kota: Sugihartono dengan basis realis yang kuat menghadirkan yang tak sekadar realis. Untuk menampilkan ruang, warna dan refleksi, membangun imajinasi dan kesadaran atas ruang, atau adanya dimensi yang berbeda pada satu bidang kanvas, Sugihartono menggunakan warna, bidang, dan garis.
Ruang Publik (2011), misalnya. Tiga anak bermain skateboard di tiga bidang terpisah, dengan warna transparan. Samar-samar, tampak di bawah anak-anak itu, beberapa orang sedang berbicara, berkumpul. Sekilas, anak-anak itu seperti berada di lapis atas, dimensi ruang berbeda dari orang-orang yang tampak di bawahnya. Sugihartono menggunakan bidang dan warna sebagai pemisah dan penunjuk pembeda lapis-lapis ruang. Bisa jadi, tempat bermain skateboard itu adalah taman kota, sedangkan orang-orang berbicara itu adalah di dalam mal.
Sugihartono juga mengolah pemisahan ruang, atau waktu, melalui dua jenis pewarnaan: monokrom dengan warna-warni. Pada Side of History (2009), misalnya. Ada lima bajaj digambar makin kecil menuju pada satu titik fokus, semacam vanishing point. Bajaj yang paling belakang digambar dengan warna nyata, sedang empat lainnya monokrom abu-abu, seperti sedang menuju sebuah gedung yang nampak mengambang, transparan.
Adapun penggambaran Jange Rae nampak lebih lekat dengan genre pop art, yang dalam sejarahnya, bisa dikatakan bermula di Inggris pada 1940an, kemudian marak di Amerika. Pop art merupakan reaksi atas budaya urban, budaya pop mengikuti pesatnya perkembangan iklan dan industri.
Ya, karya Jange Rae penuh dengan ikon budaya masa kini yang diolah dengan berbagai teknik, kolase, fotokopi, repro, dan sebagainya. Kolase, misalnya, tampak pada 16 5 10 21 1 14 7 (2010), bagian mata dan mulut dari tempelan gambar lain, juga 11 9 19 19 9 9 14 7 (2010), pada bagian tengahnya ada adegan berciuman gaya komik Roy Lichenstein.
Ciri lain pop art adalah penggabungan ikon. Monalisa bersanding dengan Marylin Monroe, dan sosok simbah berkebaya Jawa (Beautiful Is, 2011). Tanpa pembagian ruang dalam kanvas dan detail figur seperti Sugihartono, Jange Rae lebih mengolah bidang latar gambarnya dengan ikon dan kumpulan angka seperti “digit-digit” yang diletakkan secara tak beraturan.
Menilik karya Jange Rae, makin terasa bahwa ia memang berada, lebur dalam budaya pop – tak lagi sebagai pengamat, atau lebih “berperan” sebagai pengamat sosial seperti Sugihartono, melainkan bak anak muda yang larut dalam permainan urban itu.
Sementara Sugihartono menggambarkan kepadatan manusia, efek industrialisasi, percepatan waktu dan problem ruang sosial, Jange Rae menyuguhkan semacam ironi, parodi dari budaya kaum muda yang pernah dialaminya, tak jauh dari musik, internet, junk food, komik impor, dan sebagainya.
STANISLAUS YANGNI (Penulis lepas seni rupa, mahasiswa pascasarjana ISI Yogyakarta)