Para perupa itu adalah Antonius Kho, Nyoman Sujana Kenyem, Ronald Apriyan, Bahtiar Dwi Susanto, Heri Purwanto, dan Lugas Syllabus (Indonesia) serta Aye Ko, Kaung Su, Hein Thit, Sandar Kaing, Kyu Kyu dan Mazun Ei Phyu. Pameran ini merupakan kelanjutan dari program Myanmar-Indonesia Art Exchange yang digelar Juli 2010 lalu di Yangon Myanmar.
Koordinator Pameran Antonius Kho mengatakan, enam perupa Indonesia adalah mereka yang mengikuti kegiatan serupa di Yangon tahun lalu, sedangkan perupa dari Myanmar adalah anggota New Zero Art Space, sebuah lembaga terpandang yang memfasilitasi aneka kegiatan seni rupa kontemporer. ”Kini giliran Indonesia menjadi tuan rumah. Kami berharap kegiatan ini semakin mempererat hubungan seniman kedua negara,” kata Kho kemarin.
Menurut Kho, para perupa Indonesia dan Myanmar menampilkan beraneka-ragam kecenderungan artistik. Namun demikian, terasa ada “benang merah” yang menghubungkan karya seniman serumpun dalam semangat keasiatenggaraan. Selama 10 hari di Bali, para seniman Myanmar akan diajak berkunjung ke sejumlah galeri, museum, dan mampir ke studio perupa di Bali.
Kritikus seni rupa Arif Bagus Prasetyo mengatakan, program pertukaran seniman ini menampakkan suatu ziarah pencarian oase eksistensial di tengah teriknya gurun realitas kehidupan kontemporer. Mereka terlihat melakukan ikhtiar artistik untuk mengungkapkan berbagai pengalaman eksistensial dari persentuhan intens dengan dunia. Karya yang mereka tawarkan mencerminkan gerak eksistensial sang diri yang berjuang memaknai realitas dengan seotentik mungkin.
Arif mengatakan globalisasi bukan saja membuka berbagai kesempatan (demokratisasi, kesetaraan, kebebasan), tetapi juga menyodorkan tantangan (gesekan berbagai sentimen kultural) dan bahaya (imperialisme budaya, krisis identitas). Guna menghadapinya, pengakuan dan penghormatan terhadap pluralitas nilai budaya perlu terus dibina dan dikembangkan. ”Proses silang-budaya di era global harus dimaknai sebagai wahana pelestarian keragaman budaya yang menjunjung kebhinekaan identitas-identitas kultural,” kata Arif yang juga kurator itu.
Menurut Arif, dalam karya Kho dan Kaung Su mencerminkan problem identitas yang kerap direbakkan oleh globalisasi. Karya dua perupa ini menunjukkan betapa peliknya proses merumuskan suatu identitas yang jelas dan pasti di tengah lalu-lintas global dewasa ini. Sedangkan karya Heri Purwanto dan Sujana Kenyem menyoroti isu identitas dari arah lain.
Aye Ko, Kyu Kyu dan Ronald Apriyan menyelami kedalaman jiwa untuk menciptakan suatu “peta batin” dalam lukisan mereka. Hein Thit dan Sandar Khaing memusatkan perhatian pada wacana tubuh. Karya mereka menekankan signifikansi tubuh manusia sebagai medan pertempuran politis dan ideologis dalam masyarakat kontemporer.
Karya Zun Ei Phyu dan Bahtiar Dwi Susanto merefleksikan kekuasaan citra, teknologi dan media dalam memanipulasi persepsi tentang realitas. Sedangkan karya Lugas Syllabus yang disajikan melalui humor getir, membongkar gejala-gejala kemerosotan budaya dalam masyarakat kontemporer.
Indonesia dan Myanmar sama-sama merupakan negeri bekas jajahan, bangsa multi-etnik, dan memiliki pengalaman panjang di bawah represi rezim militer. Kemiripan latar sejarah dan pengalaman ini memungkinkan kedua negara saling belajar.
Dibanding Myanmar yang relatif terisolasi dari dunia luar, Indonesia tentu lebih keras menerima dampak globalisasi. Namun demikian, kata Ari, masih banyak yang bisa saling dipelajari oleh kedua negeri untuk lebih memperkuat diri dalam tawar-menawar dengan proses globalisasi beserta segala konsekuensinya yang tak terhindarkan. “Dalam hal ini, program pertukaran seni rupa Indonesia-Myamar dapat menjadi ajang berbagi yang inspiratif dan mencerahkan bagi kedua negara,” ujar Ari.
ROFIQI HASAN