Suasana kian hangat setelah band cadas asal Bandung itu membawakan lagu Sistem Kepemilikan dan Aku Lupa Aku Luka. Massa di depan panggung bergantian mengangkat tubuh penonton lainnya dari sisi kiri dan kanan ke tengah kerumunan. Konser tunggal perdana Koil pada malam Jumat lalu itu memanaskan penggemarnya, termasuk ratusan penonton di luar gedung yang hanya bisa larut lewat layar besar.
Meski waktu persiapannya sempit, band yang diawaki gitaris Donni, pemain bas Adam Joswara, penggebuk drum Leon Ray, dan vokalis Otong itu sanggup menggarap konsep pertunjukannya dengan apik. Awalnya mereka berencana untuk bermain dengan kelompok orkestra, namun akhirnya gugur karena jadwal mainnya tak jelas. "Konser tunggal ini impian lama yang dirancang sejak tahun lalu, tapi kepastian mainnya baru akhir Januari kemarin," kata gitaris Koil, Donnijantoro, sebelum pentas.
Selain didukung tata lampu dan suara yang mantap, panggung juga mereka isi dengan dua set drum, komputer, dan sepasang patung putih monster seukuran orang dewasa berambut runcing dengan kaki bertanduk. Tiga tempat lilin besar berbentuk lingkaran dari besi seukuran ban sepeda mengisi bibir panggung. Ruang terasa kian sesak dengan kehadiran sepasang penyanyi latar wanita dan seorang pemain keyboard.
Koil sengaja menghadirkan pemain tambahan itu untuk membawakan tiga lagu yang istimewa karena tak pernah dibawakan langsung sepanjang sejarah pementasan mereka, antara lain, Semoga Kau Sembuh part 1 dan Hanya Tinggal Kita Berdua. Semua itu disiapkan khusus agar bisa tampil pertama kali. Selama ini, kata Donni, mereka kesulitan membawa pemain keyboard.
Masalah lain yang muncul saat bermain di kotanya sendiri ini adalah soal keamanan yang nyaris jadi pengganjal konser. Ketika proses perizinan ke Kepolisian Daerah Jawa Barat, petugas memeriksa daftar lagu dan lirik hingga mendengarkan lagu-lagu yang akan dibawakan Koil. "Polisi juga minta tiket dibatasi hanya 1.000," kata drummer Leon Ray. Konser malam itu dikawal sekitar 200 polisi.
Tragedi konser band metal Beside di gedung Asia Africa Culture Center (AACC), Jalan Braga, Bandung, tiga tahun lalu, sepertinya masih jadi trauma. Saat itu 11 orang meninggal di tengah penonton yang sesak. Dampaknya sampai hari ini, izin pentas band-band rock dan metal Bandung terus diperketat.
Konser Koil ini, kata Donni, boleh dibilang menjadi penentu nasib sederet band metal Bandung di belakangnya. Mereka telah lama rindu bermain bersama penggemarnya di halaman kotanya sendiri. "Kami ingin nunjukin konser band Bandung bisa aman," ujarnya.
Koil menanggung beban berat. Bermusik sekaligus mengendalikan emosi penonton. Pada beberapa jeda antar lagu, sang vokalis Otong berulang kali meminta penonton agar tidak rusuh. "Kita usahakan yang terbaik, juga yang aman. Di Bandung susah sekali band seperti ini manggung," kata frontman band Koil yang bernama lengkap J.A. Verdijantoro itu.
Banyak cara yang dicoba Koil agar darah penggemarnya tak terus mendidih setelah telinganya digempur lagu-lagu cadas. Misalnya dengan menyelipkan tiga lagu di tengah konser yang diaransemen ulang menjadi semi akustik, dan gubahan lagu Karam bergaya swing. Atau gaya Otong menjalin komunikasi ke penonton dengan membicarakan apa saja sambil guyon, dari tweeter hingga band cupu pembanting gitar.
Meski begitu, tekanan penampilan Koil malam itu tetap terasa, terutama Otong. Nada suaranya beberapa kali tak padu dengan musik. Setelah belasan lagu meluncur, Koil baru terasa tampil lepas di tiga lagu terakhir.
Lagu Cinta Kita Terlupakan dan Mendekati Surga, yang ikut melambungkan nama band yang berkibar sejak 1993 itu, terdengar lebih bertenaga. Konser selama dua jam yang dibuka Anto Arief, penyanyi band 70's Orgasm Club itu, akhirnya dipungkasi dengan Kenyataan dalam Fantasi. Ini sebuah lagu menderu tentang kondisi negeri ini. "Nasionalisme, untuk negara ini adalah pertanyaan," teriak Otong bersama penggemar Koil. Penonton bubar tanpa perkelahian.
ANWAR SISWADI