TEMPO Interaktif, Jakarta - Ia terlihat begitu larut. Di hadapannya sebuah piano besar yang selalu bersetia kepada jari-jarinya. Tak ayal, yang terdengar adalah deretan harmoni puitis.
Betapa kerinduan kepada sahabatnya melesak dan menyatu dalam lagu itu. "Amir Pasaribu telah menderita sebegitu rupa,” kata pianis gaek Iravati M. Sudiarso, sebelum lagu itu ia mainkan dalam konser piano tunggalnya di Gedung Kesenian Jakarta, Sabtu malam pekan lalu.
Lagu Sriwijaya Variations karya Amir Pasaribu begitu memikat Iravati. Pun lagu ini sangat spesial di hati Amir. Maka tak aneh jika penonton, yang malam itu memenuhi hampir semua kursi Gedung Kesenian, menanti-nanti lagu ini diperdengarkan.
Sangat menarik jika kita melihat cerita di baliknya. Pada 1960-an, lagu ini pernah disiarkan melalui Radio Republik Indonesia dengan Amir sebagai pianisnya. Pemerintah yang berkuasa saat itu menghubungkan lagu ini dengan Partai Komunis Indonesia, tanpa sebab. Mudah ditebak, yang terjadi kemudian adalah Menteri Penerangan melarang diperdengarkannya lagu ini. "Piringan hitam hasil rekaman lagu itu diinjak-injak," ujar Iravati mengenang dengan masygul.
Merasa terancam, seorang sahabat Amir dari Belanda menyarankannya pergi dari Indonesia. Bersama keluarganya, Amir menetap di Suriname karena pemerintah Belanda menolaknya. Setelah keadaan reda, Amir baru kembali ke Indonesia hingga ia meninggal pada Februari 2010.
Sesungguhnya, lagu Sriwijaya mengambil tema musik rakyat Sumatera Barat. Sebuah lagu untuk menyambut tamu besar pada zaman Kerajaan Sriwijaya. Iramanya sangat sederhana. Namun Amir mengubahnya menjadi lebih variatif dengan warna dangdut, bahkan sesekali terdengar keroncong.
Meski mencampurkan sentuhan yang demikian, ia tak begitu saja melupakan gaya impresionistik. Sesekali kerap terdengar disonan karena keluar dari ruang nada pentatonik. Hal ini semakin membuktikan musik Indonesia layak bersanding dengan musik Barat yang cenderung dikuasai nada diatonik.
Konser malam itu memang persembahan Iravati kepada sahabatnya, Amir. Satu lagi karya berharga yang dimainkan adalah Indyhiang. Lagu ini mengambil tema musik rakyat Tasikmalaya, Jawa Barat. Melodi etnik Sunda terdengar sangat kental.
Kedua lagu tersebut adalah karya Amir yang diberikan kepada Iravati untuk digelar perdana di Amerika Serikat. Keduanya sering berjumpa di rumah sahabat mereka, Charlotte Sutisno, saat Iravati menyelesaikan studinya di Belanda. Amir rupanya tamu tetap di kediaman Charlotte. Sebab, di sanalah ia dapat bermain piano. Musisi kelahiran Medan, Sumatera Utara, ini adalah autodidak yang memiliki karakter kuat dan kejelian yang tinggi dalam berkarya.
Tak hanya itu, Iravati sengaja memilih beberapa karya Frederic Chopin yang juga disukai Amir: Nocturne Op. Posthume in C# Minor-Lento. Karya ini baru diketahui setelah Chopin meninggal 26 tahun kemudian. Karya tersebut didedikasikan untuk kakaknya, Ludwika Chopin. Lagu ini juga menjadi soundtrack film The Pianist yang disutradarai oleh Roman Polanski.
Repertoar Chopin yang dipilih juga memberikan ilham bagi Iravati tentang kondisi Indonesia yang sedang dilanda bencana. Grande Valse Brilliante Op. 34 No. 2 in A Minor-Lento, misalnya. Waltz ini ia gambarkan sebagai keteguhan masyarakat Mentawai terhadap bencana tsunami. Lalu, Nocturne Op. 27 No. 1-Larghetto, baginya memberikan ilham tentang kekuatan alam hingga menghadirkan bencana meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta beberapa waktu lalu. "Negara kita belum pernah semerosot ini dalam pandangan saya," ujarnya.
Kepiawaiannya menginterpretasi lagu dalam instrumen piano tak perlu diragukan. "Tak ada yang hilang sama sekali. Luar biasa," ujar pengamat musik sekaligus saksofonis Suka Hardjana seusai pertunjukan. Ia pernah sepanggung bersamanya untuk menjajal kemahiran masing-masing. Bahkan, menurut Suka, prestasi demikian hanya bisa dibandingkan dengan Clara Haskil, pianis besar sekaligus interpreter lagu klasik dan romantik.
Iravati, pianis penerima penghargaan Museum Rekor-Dunia Indonesia pada 2008 sebagai empu pianis Indonesia, masih saja mempersembahkan permainan musikal yang prima. Mengenakan kebaya hitam panjang dan berganti setelan putih pada paruh kedua sama sekali tak memperlihatkan sosok Iravati yang sepuh malam itu.
ISMI WAHID