Wayang beber merupakan kesenian yang nyaris punah dan sudah sangat jarang dipertontonkan. Kesenian tersebut berkembang sebelum Sunan Kalijaga memodifikasinya dengan kesenian wayang kulit. Wayang beber terbuat dari lembaran kulit dengan gambar-gambar di atasnya, dimana dalang menceritakan mengenai isi gambar tersebut.
Tentu saja, pementasan Suluk Banyu tidak menggunakan lembaran kulit dalam membuat wayang bebernya. Gambar yang merupakan cerita dalam pementasan tersebut digambar dengan peralatan cetak digital. Cerita yang dibawakan juga bersifat kontemporer, bukan lagi lakon cerita Ramayana ataupun Mahabharata.
Suluk Banyu bercerita mengenai kondisi Desa Suka Makmur yang mendapat karunia air yang melimpah. Warga desa maupun hewan liar di lereng gunung tersebut mampu hidup makmur. Namun kondisi tersebut berbalik saat perusahaan air minum kemasan yang bernama Tirta Durjana ingin menguasai mata air.
Perusahaan Tirta Durjana melakukan praktik kotor dalam penguasaan mata air. Selain menyuap perangkat desa, mereka juga membayar banyak preman untuk mengamankan bisnisnya. Bahkan, binatang buas pun mereka bayar untuk mengamankan dari serangan hewan liar lain.
Keributan terjadi di desa yang semula damai dan tenteram tersebut. Rakyat dan alim ulama berseteru dengan perangkat desa yang telah menjadi bagian dari perusahaan tirta Durjana. Hewan liar dan binatang buas saling berkelahi untuk berebut air.
Dalam pementasan berdurasi sekitar satu jam tersebut, tidak diceritakan akhir cerita secara jelas. "Masyarakat desa menyerahkan segalanya kepada Tuhan," kata Adam.
Meski masih berusia 11 tahun, dia mampu membawakan cerita seperti layaknya dalang profesional. Selama pementasan, siswa kelas V Sekolah Dasar Al Firdaus Surakarta tersebut mengocok perut seratusan penonton melalui banyolan-banyolannya.
Bagi putra pasangan penyanyi dangdut Rhoma Irama dan Gita Andini tersebut, memainkan wayang beber merupakan pengalaman pertama. Selama ini, dia menggeluti kesenian wayang kulit. Adam pernah menyabet penghargaan sebagai penyaji terbaik dalam Festival Dalang Cilik Nasional 2008.
"Mementaskan wayang beber memerlukan kemampuan bercerita yang kuat," tuturnya kepada Tempo di akhir pementasan. Sebab, yang dimainkan dalam pementasan wayang beber adalah gambar diam. Hal ini berbeda dengan pementasan wayang kulit. Keterbatasan kemampuan bercerita menurutnya bisa ditutup oleh kepiawaian sabetan maupun suara yang bagus.
Sanggar Marsini Komunitas Budaya merupakan rumah peninggalan Osstenrijk Tjitro Soenarjo, seorang pelukis yang berprofesi sebagai polisi, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Rumah yang sempat terbengkalai tersebut oleh keluarga akhirnya digunakan sebagai sanggar budaya. Sedangkan Marsini merupakan nama dari istri Tjipto Soenarjo.
Ahmad Rafiq