Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Sinta Moksa

image-gnews
Pentas Teater Musikal
Pentas Teater Musikal "Tusuk Konde, Dua dari Trilogi Opera Jawa". Foto:TEMPO/Novi Kartika
Iklan

TEMPO Interaktif, Jakarta -

Seko bumi bali neng lemah,
Seko getih bali neng lemah....

(Dari bumi maupun darah,
semuanya akan kembali kepada tanah)

Limbuk, diperankan oleh Endah Laras, berulang kali mengucap kalimat itu. Seperti ingin mengingatkan kepada Sinta, Rama, dan Rahwana akan gejolak di antaranya. Pergolakan batin yang dialami Sinta atas nama kesetiaan kepada Rama, suaminya.

Ada saja jalan bagi Rahwana menggoda Sinta. Pelbagai macam cara, lembut atau sedikit memaksa. Toh, Sinta awalnya bergeming. Namun akhirnya ia tergoda dan keluar dari lingkaran suci yang ditambatkan Rama sebelum kepergiannya.

Sebuah drama musikal, satu dari trilogi Opera Jawa garapan sineas Garin Nugroho. Ya, Garin menemukan Tusuk Konde, yang tak lain adalah trilogi kedua dari keseluruhan Opera Jawa. Rabu dan Kamis malam lalu, lakon ini digelar di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Sebelumnya, drama musikal ini telah dipentaskan di Amsterdam, Belgia, Paris, London, Solo, dan Yogya.

Inilah sebuah tafsir Sinta Obong. Lakon kedua ini berbeda dibandingkan dengan karyanya yang pertama, Ranjang Besi. Sinta adalah dunia yang diperebutkan. Ia bisa disimbolkan sebagai tanah dengan isi yang diperebutkan. Bisa juga sebagai simbol dunia kesucian yang harus dijaga.

Adapun Rama dan Rahwana adalah perlambang dunia ekstrem yang paradoks dan saling memperebutkan. Dalam kisah ini, Rama tak lain adalah simbol kebaikan yang kemudian dalam ketidakberdayaan melahirkan kekerasan yang penuh posesif. Sehingga melahirkan begitu banyak kekejaman dan pengadilan jalanan.

Adapun Rahwana tak lain adalah simbol kebebasan yang dengan kekuasaan ekonomi dan daya tariknya berusaha mengambil apa pun dalam kekuasaannya. Mereka bertarung memperebutkan Sinta.

Kisah epik Ramayana yang kompleks ini ditafsir ulang oleh Garin. Ceritanya, Rama, Sinta, dan Rahwana dilahirkan kembali di sebuah desa kecil di Jawa. Cinta segitiga kemudian bersemi. Namun Sinta memilih Rama. Mereka saling bertukar benda untuk sumpah setia pernikahan itu. Rama memberi sehelai rambutnya dan Sinta memberi Rama sebuah tusuk konde (jepit rambut).

Rama harus meninggalkan Sinta untuk mencari nafkah. Ia kemudian menggambar lingkaran ajaib di sekitar Sinta untuk melindunginya dari mara bahaya.

Kepergian Rama adalah kesempatan Rahwana menggoda Sinta. Segala cinta dan kasih sayang menghujani Sinta. Sinta bimbang, ingin tetap setia kepada Rama tapi tak kuasa menahan rayuan Rahwana. Pada akhirnya Sinta menuruti gejolak hatinya untuk bermain api dengan Rahwana.

Rama mengetahuinya. Ia tak bisa lagi menahan amarah itu. Dikuasai angkara murka, Rama membunuh Rahwana. Rama pun membunuh Sinta dengan menggunakan jepit rambut pemberian Sinta.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Inilah opera yang karya warna. Tak hanya gerak tari konvensional, tapi juga pelbagai macam ekspresi seni, dari teater tradisional, teater modern, langendriyan, sampai gaya ketoprakan berbaur menjadi satu.

Garin mempercayakan semua gerak tubuh itu kepada koreografer Eko Supriyanto. Jelas, gerak tubuh para penari menjadi sangat kontemporer. Meski demikian, gaya tradisi tetap ada. Eko masih mempertahankan itu. "Banyak kejutan yang bisa diberikan Eko," kata Garin.

Tusuk Konde mengingatkan kita pada pertunjukan tari kolosal berjudul Matah Ati karya Atilah Soeryadjaya dan penata artistik Jay Subyakto, yang dimainkan perdana di Esplanade, Singapura, dua pekan lalu. Konsep pergelaran ini adalah langendriyan. Semua koreografi tari berpijak pada tari tradisi. Tata dan teknik pemanggungan yang digarap Jay memang luar biasa.

Opera Tusuk Konde memang tak memakai teknik panggung serumit lakon Matah Ati. Tapi ia tak serta-merta kehilangan roh pertunjukan. Garin sangat konsisten dengan kreasinya menggabungkan semua elemen ekspresi seni. Seperti memunculkan visual video di belakang layar saat adegan tertentu. Misalnya, ketika Rahwana mati, di belakang layar tampak keramik karya Tita Rubi berbentuk manusia terbakar di pinggir sungai. Atau kematian itu digambarkan oleh Garin dengan patung kepala dari lilin merah yang meleleh-leleh. Karya ini merupakan ciptaan Entang Wiharso, yang kemudian divisualisasi oleh Garin. Ada lagi wayang modern hasil karya Heri Dono yang ikut dimunculkan ketika mengiring kematian Rahwana.

Koreografi Eko terlihat sangat eksploratif. Adegan Rahwana menggoda Sinta dengan bersetubuh digambarkan dengan sangat vulgar meski masih dibalut oleh estetika gerak tubuh. Beda dengan Matah Ati, yang digambarkan dengan sangat santun saat Rubiyah menyerahkan jiwa dan raganya kepada Raden Mas Said, suaminya.

Saat Rama membunuh Sinta adalah puncak gerak yang luar biasa. Rama menusuk Sinta dengan tusuk konde. Semua gerak dalam adegan itu dilakukan dalam sunyi. Tak ada jerit, gerak tubuh dilakukan dengan cepat dan teratur.

Penggunaan bakul nasi seperti gunungan yang selalu digunakan Rahwana dan balanya untuk menggoda Sinta juga menarik. Atau penggunaan selendang yang biasanya digunakan untuk menutupi tubuh wanita, di sini menjadi simbol kekuatan Rahwana. Selendang digunakannya untuk merebut hati Sinta, bercinta dengan Sinta, dan sebagai alat tempur di medan perang.

Sinta, yang diperankan oleh Dwi Nurul Hidayah, tak hanya menampilkan sisi kelembutan wanita. Tetapi juga kadang trengginas sebagai bentuk ketakberdayaannya. Heru Purwanto, yang memerankan tokoh Rama, pun tak kehilangan gambaran kebijaksanaan dan ketenangannya. Meski begitu, pada akhir cerita ia bisa sangat drastis berubah menjadi liar seperti binatang.

Yang menarik lagi adalah upaya Garin untuk mencari pemain yang tak sekadarnya bisa menari. Tetapi juga bisa menembang dan menari dengan gaya tradisional sekaligus kontemporer.

Tak dimungkiri Opera Jawa karya Garin adalah peta kecil dari peta besar migrasi nilai, tubuh, dan kesenian Jawa. Sebuah peta yang sudah lama kita abaikan. "Lakon ini hanyalah sebuah peta kecil untuk membaca peta besar yang penuh tuntutan baru," ujar Garin.

ISMI WAHID

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Sehari 4 Kali, Teater Bandoengmooi Gelar Pertunjukan Longser Kerajaan Tikus

16 Oktober 2023

Pertunjukan Longser Kerajaan Tikus di Gedung Kesenian Rumentang Siang Bandung, Sabtu 14 Oktober 2023. (Dok.Bandoengmooi)
Sehari 4 Kali, Teater Bandoengmooi Gelar Pertunjukan Longser Kerajaan Tikus

Pewarisan seni longser melalui pelatihan, residensi atau pemagangan, dan pertunjukan di ruang publik dilakukan setiap tahun.


Minat Anak Muda Berkurang, Bandoengmooi Gelar Seni Longser Pahlawan Kesiangan

4 September 2023

Pertunjukan seni longser gelaran Bandungmooi berjudul Pahlawan Kesiangan. Dok.Bandoengmooi
Minat Anak Muda Berkurang, Bandoengmooi Gelar Seni Longser Pahlawan Kesiangan

Longser termasuk seni pertunjukan dalam daftar warisan budaya tak benda dari Jawa Barat.


Marcella Zalianty Ungkap Perbedaan Menjadi Produser Teater dan Film

30 Agustus 2023

Marcella Zalianty. TEMPO/Charisma Adristy
Marcella Zalianty Ungkap Perbedaan Menjadi Produser Teater dan Film

Marcella Zalianty saat ini sedang mempersiapkan pertunjukan teater kolosal


Festival Teater Jakarta 2022, tak Sekadar Pertunjukan

4 Oktober 2022

Festival Teater Jakarta 2022, tak Sekadar Pertunjukan

Puncak apresiasi FTJ diniatkan sebagai etalase yang memperlihatkan capaian pembinaan teater Jakarta pada tahun berjalan.


Indonesia Kita Kembali Hibur Masyarakat Jakarta sebagai Ibadah Kebudayaan

18 Juni 2022

Sejumlah pemain melakukan pertunjukan seni teater yang digabungkan dengan seni musik dan seni tari dengan lakon
Indonesia Kita Kembali Hibur Masyarakat Jakarta sebagai Ibadah Kebudayaan

Direktur Kreatif Indonesia Kita, Agus Noor berharap pertunjukan Indonesia Kita ke-36 ini bisa memulihkan situasi pertunjukan seni di Indonesia.


Ngabuburit di Medan Sambil Nonton Teater Rumah Mata: Temukan Sahabat Sejatimu

15 April 2022

Pertujukan Shiraath oleh Teater Rumah Mata di Metrolink Street Market, Kota Medan, pada Ahad, 10 April 2022. Dok. Teater Rumah Mata
Ngabuburit di Medan Sambil Nonton Teater Rumah Mata: Temukan Sahabat Sejatimu

Teater Rumah Mata menggelar pertunjukan Shiraath untuk mengisi ngabuburit di sejumlah tempat di Kota Medan.


Hari Teater Sedunia, Indonesia Punya Wayang Orang, Longser, Lenong dan Ketoprak

27 Maret 2021

105 Tahun Gedung Wayang Orang Sriwedari
Hari Teater Sedunia, Indonesia Punya Wayang Orang, Longser, Lenong dan Ketoprak

27 Maret menjadi Hari Teater Sedunia. Indonesia pun punya beragam pertunjukan teater rakyat seperti wayang orang, lenong, longser, hingga ketoprak.


27 Maret Hari Teater Sedunia, 60 Tahun Sampaikan Pesan Perdamaian di Dunia

27 Maret 2021

Pertunjukan teater Sie Jin Kwie dari Teater Koma. (ANTARA)
27 Maret Hari Teater Sedunia, 60 Tahun Sampaikan Pesan Perdamaian di Dunia

Dulunya Teater merupakan hiburan paling populer di Yunani, pada 27 Maret, 60 tahun lalu Institut Teater Internasional menggagas Hari Teater Sedunia.


Festival Teater Tubuh Dimeriahkan Belasan Penampil Secara Daring

18 Maret 2021

Kelompok Teater Api Indonesia memainkan lakon berjudul Toean Markoen di Festival Teater Tubuh II, Selasa 16 Maret 2021. Dok. Festival
Festival Teater Tubuh Dimeriahkan Belasan Penampil Secara Daring

Festival Teater Tubuh berlangsung mulai Selasa sampai Sabtu, 16 - 20 Maret 2021. Festival ini merupakan silaturahmi tubuh kita dalam pandemi Covid-19.


Akhir Pekan Ini Pertunjukan Teater Sie Jin Kwie Tayang di YouTube

3 Juli 2020

Pertunjukan teater Sie Jin Kwie dari Teater Koma. (ANTARA)
Akhir Pekan Ini Pertunjukan Teater Sie Jin Kwie Tayang di YouTube

Pementasan Sie Jin Kwie pada 2010 lalu di Graha Bhakti Budaya, Jakarta, kini bisa disaksikan kembali pada 4 - 5 Juli di kanal YouTube Indonesia Kaya.