Ya, karya Sutardji bagai pembuka jalan untuk pelbagai dialog dalam perhelatan UWRF, yang berlangsung pada 6-10 Oktober lalu. Diikuti oleh 156 penulis, sekitar 80 di antaranya penulis asing, UWRF kali ini menghadirkan 176 kegiatan, terdiri atas diskusi, lokakarya, peluncuran buku, pertunjukan, dan special event.
Sejumlah penulis asing cukup terkemuka hadir pada acara itu. Mereka antara lain Louis de Bernieres, novelis Inggris yang karyanya, Captain Corelli's Mandolin, memenangi anugerah buku terbaik Commonwealth Writers Prize dan Tom Keneally, penulis buku Scindler Arks, yang difilmkan oleh Steven Spielberg.
Baca Juga:
Dari Indonesia, selain Sutardji, Dewi Lestari, dan Sitor Situmorang, sebanyak 18 penulis muda ikut berpartisipasi. Mereka adalah Kurnia Effendi, Medy Lukito, dan Wa Ode Wulan Ratna (Jakarta); Nusya Kuswatin (Yogyakarta); Arif Riski, Zelfeni Wimra, Magriza Novita Syahti, dan Andha S. (Padang); Imam Muhtarom (Blitar); Wendoko (Semarang); Yudhi Heribowo (Solo); W. Hariyanto (Surabaya); Benny Arnas (Sumatera Selatan); Harry B. Koriun (Riau); Hermawan Aksan (Bandung); serta Sunaryono Basuki K.S., Ni Made Purnamasari, dan Iwan Darmawan (Bali).
Adapun special event yang digelar adalah penyerahan Master Card-Saraswati Literary Award kepada penulis senior Sitor Situmorang. Ada pula pergelaran “Tribute to Gus Dur”. “Sitor dipilih karena konsistensinya, sedangkan Gus Dur adalah pejuang untuk keberagaman yang sangat dihormati,” kata Direktur UWRF Janet Dee Neefe.
Kebetulan tema utama UWRF tahun ini adalah “Bhineka Tunggal Ika”. Janet menyatakan, di bagian dunia mana pun saat ini sedang terjadi proses yang sulit mencapai pengertian. Perbedaan dianggap sebagai jurang pemisah yang sulit dipertemukan.
Tema itu juga merupakan kelanjutan dari upaya untuk menggali nilai-nilai lokal Bali yang bisa disumbangkan kepada khalayak yang lebih luas dalam festival yang sudah berlangsung ketujuh kalinya itu. Festival pertama masih mengambil tema "Through Darkness to Light” (Habis Gelap Terbitlah Terang). Saat itu suasana memang masih diliputi kesedihan akibat tragedi bom Bali. “Kita belum tahu ke mana arah masa depan festival ini,” ujar Janet.
Tema keberagaman baru dimulai dalam festival kedua pada 2005, yang mengusung tema "Between Worlds” (Antar Buana). Disusul yang ketiga mengusung tema "Desa-Kala-Patra” (Tempat-Waktu-Identitas), keempat bertema "Sekala-Nisakala” (Yang tampak-tak tampak), dan kelima bertema "Tri Hita Karana". Adapun yang keenam bertema "Suka Duka” (Compassion & Solidarity).
Penulis Burma, Ma Thida, menyatakan festival ini sangat mengesankan karena ia bisa mengenali kisah-kisah baru yang berkembang di luar negaranya. Sulitnya akses bahan bacaan di negerinya membuat banyak hal baru yang bisa ia serap. Ma Thida pun berbelanja sebanyak mungkin buku bacaan.
Sayangnya, Ma Thida, yang tampil sebagai pembicara, mengaku tak bisa bicara secara bebas untuk menguraikan karyanya karena alasan keamanannya. “Penampilan saya sangat tidak memuaskan,” ujar penulis novel Sun Flower yang sempat mendekam di penjara karena menjadi pendukung pejuang demokrasi Burma, Aung San Kyi, itu.
Penulis Australia, Pam Allen, yang hanya satu kali absen pada festival 2005, menyatakan setiap tahun selalu ada kemajuan. Tahun ini yang paling tampak adalah keterlibatan yang lebih aktif dari penulis-penulis Indonesia. Sebelumnya, mereka tampak berada di pinggiran dan cenderung hanya menjadi penonton.
Ihwal belum satu pun penulis yang meraih Nobel Sastra hadir dalam festival ini, tutur Allen, bukanlah hal yang perlu perlu dirisaukan. “Sama dengan kami, orang Australia, yang tak pernah mempersoalkan belum adanya penulis kami yang mendapat hadiah itu,” katanya. Di Australia sendiri, Allen menambahkan, UWRF telah menjadi acuan acara bergengsi yang mengundang minat penulis untuk menghadirinya.
ROFIQI HASAN