TEMPO Interaktif, Jakarta - Bukan satu, tapi tiga panggung ditegakkan. Yang satu berukuran sangat besar, dengan panjang lebih dari 20 meter. Dua lagi separuhnya. Jarak antarpanggung sekitar 100 meter dan membentuk segitiga. Yang istimewa, panggung ini jauh dari tanah, tepatnya di atap Bekasi Square. Di panggung-panggung inilah, di bawah langit timur Jakarta, Bekasi Jazz Festival digelar pada Sabtu dan Ahad lalu.
Acara ini mengusung format mirip dengan Java Jazz. Selain panggung utama di atap (hanya bisa disaksikan dengan membayar tiket Rp 150 ribu), didirikan juga dua panggung di lantai dasar dan satu panggung di bagian luar Bekasi Square yang bisa ditonton gratis. Dari pembedaan ini, tentu kita bisa tahu bagaimana panitia membagi kelas musisi yang pentas.
Dimulai pukul tiga siang, grup Soulvibe langsung menggebrak dengan gaya soul pop. Aksi pecah suara dua vokalisnya, Bayu Adi dan Rizqi Ranadireksa, cukup menawan. Begitu juga dengan aksi panggung basis Handyanto dan gitaris Adhika Satya Winasis yang meniru gaya personel Casiopea, memutar tubuh saat bagian staccato. Tidak berlebihan dan mampu memanaskan penonton. Sayang, hanya sekitar 50 penonton berada di depan panggung.
Betul, tak banyak penonton datang ke festival jazz pertama di Bekasi ini. Mungkin karena cuaca atau promosi yang kurang menggema. Untungnglah penonton mulai banyak berdatangan menjelang malam. Sekitar 300 anak muda memadati panggung utama yang bergantian ditempati Endah N Rhesa, Barry Likumahuwa Project, dan Tompi.
Endah N Rhesa sendiri tampil sangat beringas dalam tujuh lagu yang mereka bawakan. Endah dengan gitar akustik--ukurannya lebih besar ketimbang badannya--mampu menghadirkan nada-nada nakal atau kocokan yang kuat. Karakter vokalnya pun khas dan mampu menembus oktaf tinggi dengan bidikan yang pas.
Duet Endah dengan Rhesa, suaminya, juga memukau. Kadang Endah meluncurkan nada-nada dari mulutnya, kemudian ditirukan petikan bas Rhesa. Atau, Endah menabuh tubuh gitar yang kemudian dibalas petikan bas gaya dangdut. Pada lagu Baby It's You, duet diakhiri dengan permainan bareng satu gitar akustik, Endah memainkan senar string, sedangkan Rhesa di belakangnya memetik senar bas. Sungguh duet yang liar dan menakjubkan.
Barry Likumahuwa Project tampil tak kalah mengesankan selama dua hari pertunjukan. Di hari pertama, Barry lebih banyak memberi peran pada temannya, saksofonis Denis Junio, dan gitaris Henry Budidharma. Barulah di hari kedua penampilan Barry lebih menggebrak. Putra Benny Likumahuwa ini menunjukkan kelasnya sebagai basis muda berbakat. Petikannya cepat, kaya teknik, menjangkau seluruh fret bas. Toh penampilan rekan-rekannya juga tak kalah memikat. Termasuk, vokalis Matthew dengan karakter vokal mirip Glen Fredly, mampu memainkan suara kepala dengan kuat dan jelas.
Penampilan Yovie Widianto Fussion pada hari kedua juga mengejutkan. Jauh berbeda dari Yovie yang selama ini terefleksikan melalui Kahitna maupun Yovie and Nuno. Bersama saksofonis Yoyok CR yang juga pengusul Bekasi Jazz Festival, basis Adi Darmawan, serta perkusionis Iwan Wiras, Yovie menghadirkan komposisi fusion yang luar biasa. Permainan Rantau misalnya, menunjukkan kemampuan Yovie meramu musik melayu beraroma jazz. Tak kampungan, justru modern dan tak berlebihan.
Bukan hanya musisi muda, para musisi tua juga menunjukkan taji yang luar biasa. Oele Pattiselanno, misalnya, bersama Benny Likumahuwa, Cendy Luntungan, dan kawan-kawannya tampil memikat penggemar jazz. Suasana perkusi begitu kuat dengan penggunaan cajon dan conga. Kecepatan dan keserasian permainan mereka pun sangat terasa. Bergantian para personelnya memainkan peran lead yang kaya teknik. Bukan solo yang egois, tapi kadang saling mengisi seperti ditunjukkan permainan gitar Oele dengan tiupan tuba Benny.
Penampilan Idang Rasjidi Syndicate pun tak kalah memikat. Idang, 52 tahun, mampu menyuguhkan kenikmatan jazz yang santai, tapi juga bisa meloncat dengan lincah. Jari-jarinya gesit menekan rangkaian nada atau chord yang kadang terasa miring. Begitu juga saat ia berduet dengan Kemala Ayu, adu cangkem dalam lagu Fever. Sungguh, jahe makin tua makin pedas.
Begitu juga dengan penampilan Ireng Maulana bersama Ermy Kulit. Para orang tua memadati depan panggung. Era TVRI rupanya masih mengesankan dan tak mudah dilupakan. Simak saat lagu Kasih berdentang, sebuah barisan koor dadakan dari penonton pun tercipta. Sayang, penampilan para musisi senior ini tak dilirik anak muda. Saat Otti Jamalus Kwartet naik panggung, misalnya, mereka justru lebih tertarik menunggu di depan panggung yang akan diisi kehadiran RAN. Padahal, komposisi I Don't Want to Talk About It, yang dipopulerkan Rod Stewart, yang dimainkan dalam tempo cepat dan nge-jazz terbilang menarik. Memang zamannya berbeda.
Yang patut juga menjadi catatan, pemilihan pengisi acara dan tempat pentas juga tak jelas. Misalnya saja, Riza Arhsad dengan Trioscapes-nya diisi juga oleh Aksan Sjuman dan Yance Manusama, yang ditempatkan di panggung gratisan dan menjelang tengah malam.
Tapi sudahlah. Lepas dari segala kelemahannya, pesta jazz sudah berlangsung di Bekasi. Fase baru yang telah dibuka oleh Bekasi yang selama ini lebih identik dengan drainase buruk. "Kami ingin bisa menyelenggarakan lagi tahun depan dengan standar internasional," kata Yoyok CR, sang penggagasnya.
PRAMONO