Pada karya akrilik lain di sebelahnya, pelukis Diyanto menampilkan sebuah kapak yang beringas membantai sebatang pohon. Berdiri tanpa daun, butiran air menetes deras seperti hujan. Sesosok orang di sampingnya hanya bisa menatap kaku.
Rangkaian kisah tentang ancaman kematian pengolah air dan udara itu belum berhenti sampai di situ. Lewat karya berjudul Batang Terakhir, seniman lulusan Seni Lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung pada 1991 itu menampilkan seorang laki-laki tengah memeluk potongan pohon. Ia tampak meratapi kematiannya di tengah gurun gersang kecoklatan.
Pameran tunggal bertajuk Over the Border itu menggelar 10 lukisan dan instalasi Diyanto di selasar Gedung Kesenian Sunan Ambu, Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung. Panitia Festival Sunan Ambu ke-4 memajangnya selama acara berlangsung mulai 28 hingga 30 Agustus. "Saya pilih yang sesuai dengan tema lingkungan," ujar perupa berusia 48 tahun itu kepada Tempo di sela pembukaan acara.
Hampir separuh karyanya menampilkan pepohonan, namun tanpa dedaunan hijau. Sapuan cat yang cenderung gelap menguatkan kesan suram kondisi lingkungan negeri ini. Bahkan di karya terbarunya yang menampilkan dua sosok berkostum pemain pantomim dengan warna-warni cerah, ancaman perambahan hutan tetap mengkhawatirkan. Berjudul Barikade/Bukan Polisi Hutan, keduanya berjaga tanpa kekuatan agar hutan tak dimasuki orang.
Pada karya berjudul Halimun (kabut) yang terdiri dari 5 lukisan di kanvas kecil berukuran masing-masing 20x30 sentimeter, siluet gambar pohon dan rantingnya tampak terbakar. Agar terkesan muncul asap atau kabut, setiap kanvas ditutupi sehelai kain putih.
Sedangkan di tengah ruangan, Diyanto membuat garis penyeberangan berwarna kuning dan hitam. Di atasnya berdiri alat pembajak sawah tradisional dari kayu. Menurutnya, sekarang lahan pertanian pun tak terjamin aman seperti halnya orang menyeberang di zebra cross. Ia mengatakan, ide karyanya tentang lingkungan itu selalu muncul tiap kali ia menggarap lukisan bertema lain.
Anwar Siswadi