TEMPO Interaktif, Jakarta - Overture from Die Fledermaus yang dibawakan Twilite Orchestra mengalir lembut di Aula Simfonia, Kemayoran, Jakarta, Jumat malam pekan lalu. Komposisi apik karya Johan Strauss Jr. itu menjadi pembuka konser musik klasik bertajuk Rama Widi with Twilite Orchestra, yang menampilkan kolaborasi Rama Andhika Widi dengan Twilite Orchestra pimpinan Addie M.S.
Melalui repertoar klasik ini, Rama--yang lahir di Jakarta 25 tahun silam--mengajak ratusan penonton menengok kenangan masa kecilnya. Sebuah kenangan tentang satu episode film kartun kegemarannya, Tom and Jerry, yang justru menjadi awal perkenalannya dengan musik klasik.
Masih lekat di benak Rama salah satu adegan dalam episode itu, yang memperlihatkan tokoh Tom berperan sebagai konduktor membawakan Overture from Die Fledermaus. “Saya tidak tahu-menahu tentang lagu tersebut hingga saat saya menempuh studi di Wina, Austria,” kata Rama mengenang.
Rama mendalami harpa sejak 2004 di Vienna Conservatory, Austria, di bawah bimbingan maestro Julia Reth dan Robert Fontane. Sebelumnya ia telah menguasai berbagai instrumen musik, seperti piano, organ, biola, klarinet, perkusi, dan beberapa alat musik tradisional Indonesia. Penguasaannya atas instrumen harpa terbilang cepat. Dalam waktu dua semester ia bisa memainkan karya-karya klasik dari komposer besar, seperti Salzedo, Renne, Bach, Grandjany, Handel, Glinka, Mozart, Hasellman, dan Tournier.
Meski namanya belum sepopuler pemain harpa Heidi Awuy atau Maya Hasan, prestasi Rama tak bisa dianggap enteng. Ia kerap tampil bersama berbagai orkestra di Austria dan Hungaria, antara lain Camerata Musica Vienna, Joseph Haydn Konzertverein, Konzert des Musikvereins 1837 St. Pölten Orchestra, Chor und Orchester der Universitätssängerschaft Waltharia, Göttingen Philharmonic, Sinfonietta Del'arte, Zoltan Kodály World Youth Orchestra, dan Köszeger Orchester.
Pada 2007 ia menjadi orang Indonesia pertama yang bermain di gedung opera Wina, dan menjadi salah satu artis di Vienna Jazz Festival. Rama juga pernah bermain solo dalam sejumlah orkestra, antara lain Jakarta Chamber Orchestra (Mozart Concerto for Flute, Harp and Orchestra), Capela Amadeus String Chamber Orchestra & Joseph Haydn Konzertverein (Vivaldi Concerto), dan Simfonia Vienna (Saint Saens, Morceau de Concert).
Malam itu Rama tak cuma membuktikan keseriusannya menekuni alat musik harpa. Dia juga ingin mengakrabkan musik harpa kepada masyarakat luas. Itulah mengapa Rama memilih Song in the Night ciptaan Carlos Salzed sebagai lagu pertama yang dibawakannya secara solo. Tampil di atas panggung mengenakan sarung khas Bali berwarna merah lengkap dengan ikat kepala, Rama tak cuma menyuguhkan dentingan dawai yang mendayu-dayu lewat petikan normal. Senar harpa itu terkadang dipetiknya dengan kuku. Dengan kuku pula ia memamerkan teknik glissando, yang menghasilkan irama laksana aliran air.
Tak puas dengan hanya memetik, jari-jemarinya lincah menggesek senar. Petikan dan gesekan tersebut kian harmonis dengan pukulan pada sound board layaknya perkusi. Dengan berbagai macam teknik itu, Rama seolah ingin menunjukkan bahwa harpa juga mampu menghasilkan beragam efek suara yang lebih dinamis.
Kepiawaian Rama makin terlihat saat memainkan Une Chatelaine En Sa Tour yang ditulis Gabriel Faure berdasarkan sebuah puisi. Komposisi ini termasuk rumit mengingat ada 153 pergantian pedal selama lagu dimainkan. “Pertama kali saya mendengar lagu ini, saya tidak menyangka bahwa lagu ini termasuk kategori lagu yang susah dimainkan,” ujar Rama menjelaskan. Toh, ia mampu menaklukkan lagu tersebut.
Tak hanya menyuguhkan karya-karya komposer Eropa, Rama juga memasukkan nuansa etnik dalam konsernya. Ini memang salah satu ciri khasnya. Bersama para musisi yang tergabung dengan Twilite Orchestra--termasuk dua pemain harpa berbakat lainnya, Rahman Ariella Erasputranto dan Mesty Ariotedjo, ia membawakan karya Trisutji Kamal, Babak 1 dari Gunung Agung, yang kental dengan sentuhan musik tradisional Bali.
Repertoar Babak 1 Gunung Agung sebelumnya kerap dimainkan dalam versi duo piano dengan perkusi Bali di konser-konser Trisutji Kamal Ensemble di mancanegara. Pada 2006 Trisutji, yang menyelesaikan lagu ini pada 1970, mengorkestrasikannya dengan menambah solis-solis paduan suara dan melibatkan beberapa peralatan gamelan Bali, perkusi, dan bumbung.
Pada konser kali ini, Babak 1 Gunung Agung untuk pertama kalinya digelar secara utuh di bawah pimpinan orkestra Addie M.S., lengkap dengan duo pianis Levi Gunardi dan Adelaide Simbolon serta gamelan Bali I G. Kompiang Raka. Sebuah kolaborasi unik antara musik klasik dan tradisional Bali yang menghasilkan komposisi instrumental yang enak didengar. Apalagi ditambah dengan alunan suara sopran Aning Katamsi dan Paduan Suara Mahasiswa Paragita UI.
Kemegahan tetap terasa pada nomor selanjutnya, Intermezzo from Cavalleria Rusticana, karya Pietro Mascagni, yang memadukan ketenangan alunan melodi biola dan keindahan arpegio harpa. Demikian juga lagu penutup Harp Concerto Op. 25, sebuah karya fenomenal dan penuh energi dari komponis asal Argentina, Alberto Ginastera. Karya yang ditulis pada 1956 dan dipentaskan pertama kalinya pada 1965 itu menjadi salah satu karya harpa terindah sepanjang masa.
Melalui nomor itu pula Rama ingin membuktikan bahwa alat musik harpa tak identik dengan perempuan. “Lagu ini akan mengubah pandangan kita semua tentang harpa yang sering disebut-sebut sebagai alat musik wanita,” katanya.
NUNUY NURHAYATI