TEMPO Interaktif, Bandung-Puluhan lelaki dan perempuan bercelemek merah sibuk mondar-mandir keluar masuk Galeri Soemardja, Institut Teknologi Bandung. Sebagian duduk atau berdiri melayani pengunjung yang kebanyakan mahasiswa. Macam-macam layanan yang diberikan, mulai dari penjualan kaos, sablon, fotokopi, cetak poster, foto, penjilidan, pemindahan data hingga video. "Ayo, ayo, siapa lagi," teriak seorang lelaki berulang-ulang.
Pembukaan pameran bersama komunitas Ruang Rupa pada Jumat (23/7) malam itu berlangsung riuh. Bertajuk "Hanya Memberi Tak Harap Kembali", 30 seniman menggandakan beberapa karya mereka sendiri ,juga buatan orang lain dalam berbagai medium. Misalnya beberapa halaman majalah Intisari edisi 1970, kalender, foto, poster, atau stiker bertuliskan Art Underpresure.
Semua produksi penggandaan itu dilakukan secara manual, lalu disebarkan gratis atau pengunjung sekedar membayar ongkos cetak. Pengunjung yang membawa kaos oblong sendiri atau kertas dan alat penyimpan data, tinggal menyodorkan ke para seniman yang malam itu menjadi pelayan. Mereka bebas memilih gambar atau video apa saja yang diinginkan. Beragam stiker dan tatto tempel pun bertebaran untuk dipungut gratis.
Komunitas yang berdiri satu dekade silam tersebut mengacak-acak kesan galeri yang bersih dan rapi. Di sana, ruang galeri dipenuhi mesin fotokopi, gantungan puluhan kaos putih sablonan, bank data, juga meja-meja untuk mencetak dan menjilid, hingga pameran selesai Ahad (25/7).
Menjelang perayaan 10 tahun, pameran itu menjadi yang pertama setelah tujuh tahun tak berkumpul bersama memamerkan karya. Menurut Direktur Ruang Rupa Ade Darmawan, kali ini mereka lebih menekankan pada performance dibanding karya yang dihasilkan. "Pengunjung lihat proses produksi, memilih gambar, kebanyakan mencampur misalnya stiker dengan sablon," katanya di sela pameran.
Ide acara yang akan juga diusung ke Yogyakarta pada September mendatang itu berangkat dari fenomena sekarang. Setiap orang bisa memproduksi citra dan gambar dirinya sebanyak mungkin di situs-situs pertemanan. Pada saat bersamaan, seniman juga memproduksi image. "Ada sirkulasi distribusi yang mengerikan dari image-image itu," ujar lulusan Desain Grafis Institut Seni Indonesia Yogyakarta tersebut.
Tidak merasa menyerah, kata Ade, mereka justru ingin menjadi bagian dari penyebaran image itu yang melimpah. Sebagian terpakai, selebihnya menjadi sampah modernitas. Itulah kenapa mereka hanya memberi dan tak berharap sisa sampah itu kembali lagi ke mereka. "Kalau ada yang berminat. Penyebaran itu juga bermaksud menghajar kesakralan atau eksklusivitas seni bagi publik.
Adapun Direktur Galeri Soemardja Aminudin TH Siregar menilai pameran Ruang Rupa itu bukan termasuk seni.Mereka, kata dia, hanya unjuk kreativitas untuk memancing publik datang dan membawa cinderamata serta terlibat dalam acara.
ANWAR SISWADI