TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Perupa Made Wiguna Valasara dan I Wayan Upadana mengritisi budaya Bali melalui pameran bertajuk Sensuous Objects di Bentara Budaya Yogyakarta, 2-9 Juni 2010. Hasilnya, publik disuguhi karya yang menarik, mulai dari Rangda yang sedang mandi di bathtub hingga Barong dari kardus rokok dan tas kresek.
Pameran ini bertolak dari upacara Tumpek Landep, sebuah ritual Hindu Bali tentang penghargaan terhadap senjata tajam. Dalam perkembangannya, penghargaan tidak saja terhadap senjata tajam namun juga benda-benda modern seperti mobil dan motor. “Jadi, tidak hanya benda tradisi, akhirnya juga terbuka terhadap benda modern hasil dunia industri,” jelas Made Wiguna Valasara, 27 tahun.
Berangkat dari keterbukaan itu, lahirlah karya Valasara berjudul Mitos Baru, Refleksi Budaya. Karya ini berupa sosok Barong, sebuah karakter dalam mitologi Bali, yakni raja dari roh-roh dan melambangkan kebaikan. Uniknya, sosok Barong itu tersusun dari kardus-kardus bekas kemasan rokok dan rumbai-rumbainya terdiri atas susunan berpuluh-puluh tas kresek dari berbagai produk dan nama supermarket.
Kardus bekas kamasan rokok dan tas kresek bertuliskan aneka produk dan nama super market itu mewakili benda-benda industri pasar. “Saya hanya menghargai cita-cita dibuatnya benda-benda itu, yakni menjadi barang yang berguna,” jelas alumnus Institut Seni Indonesia Yogyakarta tahun 2006 ini.
Sementara I Wayan Upadana, 27 tahun, justru menghadirkan sosok Rangda melalui karyanya yang berjudul “Euphoria Globalisasi”. Rangda, makhluk berambut gimbal dengan taring-taring panjang ini tak lain adalah musuh Barong dalam mitologi Bali. Uniknya, Upadana menghadirkan sosok Rangda ini dalam posisi tengah santai berendam coklat cair di bathtub.
Melalui karyanya ini Upadana ingin menghadirkan unsur tradisi (Rangda) dan unsur modern (bathtub) dalam sebuah kesatuan. Lewat “Euphoria Globalisasi” ini, Upadana ingin menyentil perilaku masyarakat Bali yang yang terbuai oleh kenikmatan materi yang berlimpah seiring dengan derasnya laju industri wisata.
“Demi pariwisata, tanah-tanah dijual. Tanah di pinggir sungai di dipantai, sebagian besar kini sudah dimiliki orang-orang bule. Tradisi Bali kini sekadar jadi budaya tontonan. Ironisnya, masyarakat Bali sangat menikmati situasi ini,” jelas Upadana.
Sikap malas-malasan warga Bali karena terbuai kenikmatan duniawi dari rezeki industri wisata itu juga dituangkan Upadana pada karyanya yang berjudul “Glo-babi-sasi”. Karya ini berupa seekor babi, dengan bunga kamboja terselip di telinga kanannya, tengah berendam dalam coklat cair di bak wastafel. “Anak muda Bali kini lebih suka foya-foya. Ada keengganan merantau karena sudah merasa enak di Bali,” jelasnya.
Dua perupa seangkatan di Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini juga berbicara tentang fenomena alam. Valasara memajang tiruan belasan mesin pengatur suhu ruang (AC) di dinding ruang pamer pada karyanya yang berjudul “Membakar Ruang”. Ia menambahkan citraan lidah-lidah api dari logam diantara deretan tiruan mesin pengatur suhu ruang itu.
Valasara hendak berbicara tentang pemanasan global melalui karyanya itu. “AC itu menyejukkan bagi orang yang berada di ruangan itu, sebaliknya membuat udara makin panas di luar. Jadi, AC itu menyejukkan sekaligus membakar,” jelasnya.
Sementara Upadana memilih bicara tentang alam melalui materi kayu pada karyanya yang berjudul “Cerita Tentang Alamku Kini”. Ia menggantung belasan kayu berukir di langit-langit ruang pamer. Upadana menambahkan citraan daun yang terbuat dari logam pada kayu yang dipahat meliuk-liuk seperti keris itu. Ia seperti hendak menghidupkan kembali kayu-kayu itu.
“Setiap benda itu punya getaran. Saya ingin menghidupkan kembali kayu-kayu itu, maka saya tambahkan daun. Kayu itu dispiritkan lagi,” jelasnya.
Menurut kurator Rain Rosidi, kedua perupa ini memang berangkat dari titik pijak yang hampir sama. “Keduanya mempersoalkan budaya dan lingkungan alam,” tulisnya dalam katalog pameran.
Heru CN