Sanggo A. Siruah, Kepala Balai Bahasa Provinsi Maluku Utara, mengatakan, setidaknya ada 30 jenis bahasa yang dikelompokan dalam 17 kelompok bahasa daerah yang kerap digunakan sebagai sarana komunikasi masyarakat di provinsi itu.
Namun, kata dia, di antara seluruh bahasa itu, salah satunya, bahasa Ibu, sudah tidak dipergunakan lagi dan, "Satu bahasa daerah lagi, seperti bahasa Kao, kedudukannya mulai di ambang kepunahan,” kata Sanggo hari ini.
Menurut Sanggo, kepunahan bahasa daerah itu pada umumnya karena pengaruh pengunaan bahasa modern, faktor geografis dan psikologis. Masyarakat cenderung senang mengunakan bahasa modern ketimbang bahasa lokal. “Bagaimanapun, kondisi ini jelas sangat mengkhawatirkan kelangsungan hidup bahasa-bahasa daerah, terutama yang memiliki penutur kurang dari 500 orang,” ujarnya.
Pendapat yang sama diungkapkan Soleiaman, penelitih bahasa dari Universitas Negeri Khairun Ternate. Menurut Soelaiman, minimnya peran pemerintah daerah dalam menlestarikan bahasa daerah menjadi faktor pendukung punahnya bahasa lokal. Menurutnya, seharusnya pelestarian bahasa daerah dituangkan dalam sebuah mata pelajaran muatan lokal yang diajarkan di sekolah.
"Ini penting, mengingat penutur bahasa daerah selama 50 tahun terakhir ini mengalami penurunan yang cukup segnifikan. Pelajaran bahasa lokal menjadi pembelajaran dini bahasa daerah,” katanya.
Profesor Kisyani Laksono, peneliti bahasa daerah Indonesia, mencatat setidaknya ada 746 bahasa daerah di Indonesia yang penuturnya mengalami penurunan sangat signifikan selama 30 tahun terakhir. Diperkirakan dalam 100 tahun ke depan bahasa daerah yang akan bertahan hanya akan mencapai 50 persennya.
Bahasa Ibu di Desa Gamlamo dan Desa Gamici, Kecamatan Ibu, Kabupaten Halmahera Barat, Pulau Halmahera, Maluku Utara, saat ini penuturnya tinggal delapan orang. Bahkan penuturnya Semuanya sudah lanjut usia. Di Desa Gamlamo penuturnya tinggal lima orang dan berusia 46, 60, 75, 80, dan 96 tahun dan tiga orang yang berusia di atas 70 tahun di Desa Gamici. "Bahasa Ibu termasuk bahasa yang sangat kritis. Anak cucu para penutur bahasa ini menggunakan bahasa Ternate. Ini berarti upaya pembinaan untuk mempertahankan bahasa daerah itu tidak berhasil," tulis Kisyani.
Budhy Nurgianto