TEMPO Interaktif, Jakarta-Kolektor seni rupa senior Oei Hong Djin mengatakan seni rupa kontemporer di Indonesia mengalami masa kejayaan pada pertengahan 2007 lalu. Harga karya seni naik tidak kepalang tanggung. “Tiap pameran selalu sold out,” kata Oei kepada Tempo, Kamis (18/3) lalu ketika membuka pameran tunggal Sutopo di Galeri Mon Décor.
Krisis ekonomi yang melanda dunia setahun kemudian membuat penjualan karya seni ikut-ikutan turun. Meskipun demikian, pameran dan kegiatan seni di tanah air justru kian semarak. Krisis yang terjadi, menurutnya justru membawa berkah karena mampu menyeleksi mana seniman yang bermutu dan mana yang sekadar ikut-ikutan. Berikut petikan wawancaranya.
Krisis ekonomi yang melanda dunia pada 2008 lalu mempengaruhi semua sektor terutama ekonomi di dunia. Tapi benarkah seni rupa Indonesia tidak terpengaruh?
Saya kira ada pengaruhnya dan kita terkena imbasnya. Sebelumnya, pada pertengahan 2007 seni rupa kontemporer Indonesia sedang jaya-jayanya, sedang booming . Fenomena ini didahului oleh Cina. Disana booming-nya gila-gilaan. Harga karya seni naik tidak kepalang tanggung. Tiap pameran selalu sold out. Apa saja laku. Bahkan balai lelang pun melipatgandakan barang. Pada saat itu sepertinya orang sudah demam membeli karya seni rupa. Mereka seperti takut ketinggalan. Setahun kemudian, ketika dunia dilanda krisis mulailah terjadi koreksi harga. Penjualan menurun. Pelukis yang nama dan karyanya bagus pun harga lukisannya ikut jatuh. Tapi meskipun jatuh, harganya masih lebih tinggi dibanding sebelum booming. Lain halnya dengan seniman yang cuma ikut-ikutan. Mereka terkena imbasnya. Mulailah terjadi seleksi karya, seleksi seniman dan koreksi harga. Tapi tentu efeknya tidak separah di Cina karena kenaikannya sudah jauh melebihi Indonesia.
Apa faktor utama pemicu booming di Indonesia?
Faktor utamanya Cina. Pada waktu itu, ekonomi Cina tumbuh luar biasa. Jumlah orang kaya disana makin banyak. Karya seni mereka yang ada di luar Cina, dikehendaki kembali. Karya Cina yang lama, juga naik harganya karena dicari orang. Mereka tidak mau kalah dengan negara-negara Barat, baik harga maupun kualitas karya. Makanya mereka mengangkat para seniman. Negara-negara di luar Cina, terutama di Asia Tenggara, secara kualitas tidak kalah bagus. Dulu orang-orang kita berpindah haluan ke Cina karena disana harganya tinggi. Mereka bisa mendapatkan untung dalam waktu dekat. Orang Cina justru melihat kita, kok murah sekali. Itu alamiah. Sehingga, yang memulai booming karya seni rupa kontemporer disini itu bukan kolektor Indonesia, tetapi dari luar Indonesia, seperti Taiwan dan Cina. Kolektor Indonesia yang dulu perhatiannya ke Cina, kembali kesini dan kemudian terjadi rebutan.
Ketika krisis kegiatan pameran seni rupa di Indonesia justru tak berkurang, malah semakin banyak. Mengapa?
Galeri seni biasanya memang sudah memprogramkan kegaiatan pameran dengan seniman-seniman. Tidak mungkin batal, maka jalan terus. Krisis ini ada bagusnya. Secara garis besar tidak mengerem aktivitas seni rupa di Indonesia. Aktivitas seni rupa, frekuensi art event masih seperti biasa. Mungkin penjualan berkurang. Ada blassing in disguess-nya yaitu ada koreksi harga dan seleksi.
Baca Juga:
Apakah pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia pada 1998 lalu, kondisinya sama?
Krisis pada 1998 lalu justru tidak mempengaruhi seni rupa Indonesia. Ketika reformasi dan ada ribut-ribut, orang tak mau berbisnis karena belum yakin dengan kestabilan politik, ekonomi dan lainnya. Orang-orang masih memiliki uang, tapi tak berani untuk berbisnis. Semua harga barang juga turun. Yang tidak turun malah karya seni rupa. Maka mereka semua masuk kesana. Krisis 2008, biasanya yang kena imbas itu kolektor pendatang baru yang belum benar-benar menguasai sebuah karya seni, belum berpengalaman. Kalau kolektor yang sudah pengalaman, ketika harga gila-gilaan itu pasti mereka tidak ikut. Yang meramaikan orang-orang baru. Justru dalam keadaan krisis, kolektor lama ini malah bisa bergerak.
Krisis mempengaruhi harga karya seni rupa. Tapi bagaimana dengan kualitasnya?
Krisis memang mempengaruhi harga. Tetapi seharusnya tidak nilai seninya. Karena seringkali pada saat booming,permintaan hebat, seniman biasanya didorong untuk produksi banyak. Seringkali -tetapi tergantung senimannya- pengaruh terhadap nilai seni justru kebalikannya, malah menurun. Tetapi saat krisis, permintaan menurun, banyak waktu yang mereka miliki. Biasanya mereka dapat menghasilkan karya lebih baik.
Menurut Anda seni rupa di Indonesia saat ini seperti apa?
Seni rupa di Indonesia sekarang sudah memasuki tahap go international. Indonesia sekarang juga mulai ikut art fair di luar negeri. Balai lelang bahkan galeri di luar negeri juga mengambil karya dari seniman Indonesia. Jadi sekarang tinggal bagaimana seniman kita. Apakah mereka betul-betul serius dan bisa bersaing dengan seniman luar atau tidak.
Bagaimana kualitas karya dari seniman Indonesia dibanding dengan seniman dari negara lain?
Kita nggak kalah bagus. Tentu, dimanapun di seluruh dunia, yang bagus memang presentasinya kecil. Di Indonesia juga begitu. Indonesia relatif bagus. Yang kalah dari kita adalah kalah promosi, kalah dukungan dari pemerintah, kalah dari segi infrastruktur. Kita tidak memiliki tempat yang memang cocok untuk kegiatan-kegiatan berskala internasional.
Di daerah mana saja kantong-kantong seniman yang sedang bergeliat saat ini?
Yogyakarta jelas, sebagai pusat dan senimannya paling banyak. Bandung juga mulai hebat. Bali mulai ada geliat seperti Mahendra Yasa misalnya. Dahulu, Bali menjadi pusatnya. Sekarang muncul yang muda-muda dan mereka juga hebat. Cuma sekarang ini masih terbatas Jawa-Bali. Belum sampai Sumatra, Kalimantan. Meskipun orang-orang yang ada di Jawa ini berasal dari mana-mana.
Apa saja yang harus diperhatikan oleh para kolektor dan seniman?
Untuk kolektor, kalau ingin mengoleksi suatu karya seni itu patokannya jangan apa yang laku di pasar atau Balai Lelang. Sebaiknya belajar dulu, jangan tergesa-gesa. Jangan segala sesuatu diborong. Nanti malah rugi. Semua kolektor memang harus bayar uang pelajaran. Karena tidak ada sekolah jadi kolektor. Kolektor yang baik itu adalah yang berani memutuskan sendiri, karena itu tantangannya. Jangan trauma juga. Untuk para seniman, jangan terbawa arus. Tetap konsisten dengan karakternya. Jangan terpengaruh dengan karya seni yang laku.
Ismi Wahid