TEMPO.CO, Jakarta - Pada 30 Desember 2001 pelawak legendaris Wahyu Sardono atau Dono Warkop meninggal. Pria kelahiran 30 September 1951 ini dikenal sebagai Warkop DKI bersama dua rekannya, Kasino dan Indro. Hingga kini namanya masih dikenal sebagai pelawak legendaris di dunia hiburan Tanah Air.
Di balik sosoknya sebagai pelawak yang suka mengocok perut penonton, Dono juga merupakan sosok yang cerdas dalam akademik. Dono menyelesaikan pendidikannya tingginya di Universitas Indonesia (UI) di Fakultas Pengetahuan Sosial dan Politik, Jurusan Sosiologi.
Berdasarkan catatan Tempo, saat masa kuliahnya Dono bekerja di redaksi surat kabar kampus, di antaranya di Tribun dan Salemba, sebagai karikaturis. Sebelumnya, Dono juga pernah aktif sebagai staf artistik di Tema, majalah mahasiswa independen yang tak terikat dengan birokrasi kampus.
Pada masa perguruan tinggi Dono juga menjadi anggota Gugusan Mapala UI bersama Kasino dan Nanu. Oleh karenanya, film-film Warkop DKI memperlihatkan kegiatan yang dipekerjakan mereka sebagai pencinta alam.
Di luar sepak terjangnya sebagai pelawak bersama Indro dan Kasiono di Warkop DKI, Dono lebih berani dalam melempar kritik sosial. Ia kerap menyampaikan pemikirannya dengan menulis tulisannya di media massa. Dua di antara tulisan Dono yang populer adalah tentang kisah polisi lalu-lintas bernama Sertu Jumadi dan polah kelas menengah di Indonesia.
Kemudian, dalam podcast Vindes, Indro Warkop mengatakan Dono pernah menjadi dosen dan beberapa kali berikan kuliah umum. "Amat sangat serius. Makanya dia kan dosen, dosen aja killer lagi," kata Indro.
Dono Watrkop menjadi asisten dosen guru besar sosiologi UI Selo Sumardjan dan mulai mengajar sejumlah kuliah umum dan kuliah kelompok bersama paulus Wirutomo yang kemudian dikenal sebagai sosiolog ternama.
Dono juga beberapa kali menulis tentang lawak. Mengutip Historia, dalam satu artikelnya berjudul “Komedian itu Dewa Kecerdasan” yang tayang di Kompas pada 4 April 1994, Dono membahas tentang kedudukan humor di Indonesia. Dono melihat masyarakat masih memperlakukan humor sebatas acara pelepas tawa saja, tidak awas terhadap persoalan sosial didalamnya.
Dalam artikel Dono lainnya berjudul “Humor Berkelas adalah Mengkritik” yang terbit di Kompas pada 22 Maret 1996, Dono menyoroti munculnya pembagian lawak kelas atas dan kelas bawah.
Disarikan dari berbagai sumber, ternyata Dono Warkop juga berperan dalam menyusun reformasi 1998 untuk melengserkan rezim Orde Baru. Ia mempersiapkan berbagai seminar, mengatur kunjungan ke DPR, bahkan menyiasati demo-demo para mahasiswa.
Dono Warkop meninggal dunia pada 30 Desember 2001 akibat penyakit tumor yang menjalar menjadi kanker paru-paru stadium akhir. Akar jalar tumor itu mengeluarkan cairan dan mengganggu jalannya pernapasan Dono. Setelah sempat mendapatkan perawatan di Ruang Ignatius I nomor 11 RS St. Carolus, Dono mengembuskan napas terakhirnya. Ia dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
HATTA MUARABAGJA I ANNISA FIRDAUSI
Pilihan Editor: Dono Warkop Bukan Sekadar Pelawak: Mapala UI hingga Aktivis 1998