TEMPO Interaktif, Jakarta: "Revolusi bukan berarti melanggar hukum. Tapi, berarti radikal. Perubahan yang radikal. Kami bukan kaum yang sabar. Bukan kaum ular kambang!" Penggalan pidato proklamator Bung Karno itu bergema kembali pada Kamis, 12 Februari di aula Balai Pelatihan Guru (BPG) Denpasar. Yang menyuarakan adalah aktor dan sutradara teater Wawan Sofyan.
Pendiri Main Teater Bandung itu tampil dalam monolog tunggal berjudul Indonesia Menggugat. Ia mencuplik naskah pidato Soekarno dengan judul sama dan dibacakan oleh Presiden Pertama Republik Indonesia itu pada 18 Agustus 1930 sebagai pembelaannya di depan Pengadilan Negeri Kolonial Bandung. "Naskah aslinya 70 halaman. Saya ambil intinya untuk pidato sekitar 20 menit," Wawan mengungkapkan.
Untuk penampilan itu, hanya cara berpakaian Bung Karno yang dimirip-miripkan, yakni jas dan celana putih serta peci hitam di kepalanya. Ekspresi wajah maupun intonasi suara merupakan ekspresinya sendiri. Namun, beberapa ciri pengucapan bahasa Indonesia oleh Bung Karno tetap dipertahankan. Misalnya, kebiasaan memberi tekanan pada kata awalan "di-" dan akhiran "-i" dalam suatu kata.
Wawan yang lahir di Panjalu, 17 Oktober 1965, sudah mulai mementaskan naskah itu pada 2002. Berawal dari kekagumannya pada aktor William Patty Radjawane yang pada 1990-an dikenal sebagai spesialis pembaca pidato Bung Karno.
Ia lalu mulai melakukan riset dengan mengumpulkan naskah-naskah pidato serta rekaman suara sang proklamator. Untuk memperdalam penghayatan, latar belakang sejarah mengenai pidato-pidato itu juga dilahapnya. Begitu pun dengan suasana batin Bung Karno saat menyampaikan pidatonya.
Monolog itu kemudian mengantarkannya ke sejumlah negara. Penampilan resmi pertamanya di Moskow, Rusia, pada 2002, di depan para Soekarnois yang tak bisa pulang sejak 1965. Ia kemudian berkeliling ke sejumlah negara Eropa, termasuk ke Belanda.
Penampilan di Deen Hag, menurut dia, merupakan yang terbaik karena saat itu pementasan digelar di sebuah museum yang menyimpan barang-barang milik Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) hasil rampasan saat menjajah Indonesia. "Ada kemarahan yang menggelegak," kata dosen tamu di University Malaya-Kuala Lumpur ini.
Penampilan Wawan di Bali difasilitasi oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat Nasional yang sedang mengadakan evaluasi program kerja di Bali. Pementasan juga melibatkan kelompok teater dan sastra Bali Komunitas Sahaja.
Menurut Willy Pramudya dari LSM Perkumpulan Seni Indonesia (PSI), monolog Bung Karno cocok dengan situasi saat ini, keteka imperialisme masih kuat berakar meski dalam bentuknya baru berupa neoliberalisme. "Kita ingin memetik semangat Bung Karno itu," ujarnya.
ROFIQI HASAN