TEMPO.CO, Jakarta - Gerakan 30 September (G30S) rutin menjadi topik pembicaraan di Indonesia tiap tahunnya. Peristiwa ini bagian dari sejarah kelam Indonesia. Setelah kejadian itu, ratusan ribu terduga simpatisan PKI ditangkap, dipenjara, diasingkan, hingga dibunuh antara 1965-1966.
Hingga kini dalang peristiwa 30 September masih simpang siur. Salah satu bentuk narasi sejarah mengenai G30S adalah film “Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI” yang menyudutkan PKI.
Beberapa film diproduksi sebagai kontranarasi atas film Pengkhianatan G30S/PKI. Salah satunya adalah film “Jagal (The Act of Killing)” yang disutradarai oleh Joshua Oppenheimer. Film yang ditayangkan pada 2012 tersebut mengambil perspektif dari mata Anwar Congo, seorang mantan algojo orang-orang tertuduh PKI pada 1965.
Sebelum dikenal sebagai algojo, Anwar Congo adalah seorang preman bioskop di Medan. Keputusannya untuk menjadi eksekutor para tertuduh simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) berkaitan dengan profesinya tersebut.
Di Medan, para simpatisan PKI aktif dalam memboikot penayangan film-film Amerika Serikat. Padahal, film-film tersebut tengah mendominasi pasar. Akibatnya, pendapatan Anwar sebagai preman bioskop yang aktif menjajakan tiket ilegal pun menurun.
Dalam film ini, Anwar Congo rela melakukan reka adegan tentang aksi-aksi pembunuhan yang dulu dilakukannya. Dilansir dari Majalah Tempo, Joshua Oppenheimer mengungkapkan bahwa Anwar Congo menganggap membunuh adalah bagian dari aktingnya dalam film tersebut. Setiap aksi pembunuhan yang diperagakan ulang Anwar Congo merupakan hal yang memang benar-benar ia lakukan dahulu.
Selain memeragakan pembunuhan, Anwar Congo tampak berdansa di kantor pribadinya. Padahal, di tempat tersebut, Anwar biasa membunuh dan menyiksa para korbannya. Menurut Joshua, sebagaimana dilansir dari Majalah Tempo, Anwar berdansa sebagai bentuk impunitas yang kini ia nikmati. Anwar berdansa untuk melupakan hal-hal keji yang telah dilakukannya pada simpatisan PKI.
BANGKIT ADHI WIGUNA
Baca juga:
Sebab Lagu Genjer-Genjer Identik dengan PKI dan Dilarang Orde Baru