TEMPO.CO, Jakarta - Reog Ponorogo merupakan salah satu kesenian Indonesia yang masih lestari. Namun siapa sangka, dalam perkembangannya, reog Ponorogo sempat mengalami pasang surut akibat imbas politik.
Melansir jurnal Verleden yang ditulis Sururil Mukarromah dan Shinta Devi I.S.R, Reog Ponorogo sempat berkembang dengan tidak baik pada masa pemerintahan Kolonial Belanda. Hal ini lantaran reog dianggap sebagai kesenian yang akan membawa pengaruh merugikan bagi penjajah.
Kebijakan yang dibuat pemerintah kolonial membuat perkumpulan reog di desa-desa menjadi tidak terorganisir. Akibatnya, terjadi persaingan antar kelompok yang menimbulkan korban.
Pada masa penjajahan Jepang, Reog Ponorogo bahkan hilang. Seniman-senimannya tidak menampakkan diri karena pementasan reog dilarang dan ditakutkan berfungsi untuk memobilisasi massa.
Perkumpulan reog baru bisa tumbuh lagi setelah Indonesia merdeka. Pementasannya mulai dilakukan kembali pada 1950. Sayangnya, kala itu reog banyak dimanfaatkan untuk kepentingan politik.
Pada masa kejayaan partai politik pada 1950 hingga 1959, banyak partai yang memanfaatkan kesenian ini untuk menarik massa pendukung. Meskipun terdapat kesenian lain di Ponorogo seperti odrot dan samroh, reog adalah kesenian yang paling banyak menarik perhatian.
Partai yang menggunakan reog dalam kampanye politik antara lain PKI, NU, dan PNI. Setelah dilakukan pemilu, partai-partai tersebut akhirnya memperoleh suara terbanyak.
Pasca meletusnya peristiwa G-30 S, PKI dinyatakan sebagai partai terlarang. Peristiwa tersebut menyebabkan terbunuhnya banyak anggota perkumpulan Barisan Reog Ponorogo (BRP) milik PKI.
Pembantaian besar-besaran terhadap perkumpulan reog terjadi di Desa Somoroto. Selama tiga tahun berikutnya, warga enggan memainkan reog karena takut dikira simpatisan PKI.
Reog baru berani menampakan diri pada 1969, ditandai dengan pertunjukan kesenian ini dalam acara penutupan PON VII di Surabaya. Pada 1977, terjadi pembentukan organisasi INTI (Insan Taqwa Illahi) untuk mempersatukan unit-unit reog yang ada di semua wilayah Ponorogo.
INTI tidak masuk dalam partai politik dan tidak memihak siapapun. Setelah berbagai upaya pembinaan, reog berhasil mengalami perubahan ke arah yang lebih baik.
Reog Ponorogo pun sempat ramai diberitakan diakui sebagai kesenian Malaysia pada kisaran 2007.
Mengingat dampak organisasi politik terhadap reog, pemerintah Ponorogo mengeluarkan peraturan yang melarang kepemilikan organisasi reog oleh partai politik. Kini, reog Ponorogo telah menjadi kesenian nasional yang sering dipakai sebagai sarana mempromosikan pariwisata Indonesia.
SITI NUR RAHMAWATI
Baca: Banyak Versi Reog Ponorogo Salah Satunya Sindiran Raja yang Dikendalikan Istri