TEMPO.CO, Sleman - Seniman Djaduk Ferianto telah berpulang pada 13 November 2019. Tiga hari setelah kepergiannya, acara tahunan Ngayogjazz 2019 yang digagas Djaduk tetap berlangsung. Istri Djaduk, Bernadette Ratna Ika Sari atau biasa disapa Petra mengatakan inilah kecemasan dia yang menjadi kenyataan.
Petra menceritakan, pada satu waktu, dia pernah bertanya kepada Djaduk Ferianto tentang kelanjutan Ngayogjazz tanpa suaminya itu. "Saya pernah ada ketakutan seperti ini. Secara fisik, Mas Djaduk enggak ada di antara kami. Apakah (Ngayogjazz) terus hilang?" kata Petra saat ditemui Tempo di Messiom Jazz seusai pembukaan Ngayogjazz 2019 di Dusun Kwagon, Desa Sidorejo, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Sabtu 16 November 2019.
Baca Juga:
Merespons pertanyaan itu, Djaduk kemudian menghiburnya. Djaduk Ferianto mengatakan telah menyiapkan teman-temannya untuk melanjutkan agenda Ngayogjazz. "Dia bilang, teman-teman mudanya itu nanti yang akan meneruskan," kata Petra tanpa menyebut nama siapa teman-teman muda yang dimaksud Djaduk.
Berangkat dari pernyataan mendiang suaminya itu, Petra berharap, Ngayogjazz tetap berjalan terus hingga tahun-tahun mendatang. Dan dia meyakini teman-teman Djaduk Ferianto mampu meneruskan.
Salah seorang Board of Ngayogjazz, Bambang Paningoro mengatakan pekerjaan rumah yang ditinggalkan Djaduk Ferianto terlampau berat. Sebagai penggagas sekaligus pendiri Ngayogjazz, Djaduk terbilang berhasil membuat agenda tahunannya itu berumur panjang.
Seniman musik sekaligus penyelanggara, Djaduk Ferianto saat menjelaskan acara musik jazz bertajuk Ngayogjazz di Yogyakarta, Selasa (13/11). ANTARA/Regina Safri
Tahun ini, Ngayogjazz sudah berusia 13 tahun. Para penerusnya ditantang untuk meneruskan agenda musik yang sebelumnya banyak digerakkan oleh satu tangan. "Meski belasan tahun kami ditulari ilmu-ilmunya Mas Djaduk, tapi tetap saja kami rasakan berat," ucap Bambang.
Dari pertemuan terakhir dengan Djaduk Ferianto, Bambang melanjutkan, semua yang terlibat dalam Ngayogjazz sepakat untuk melanjutkan acara ini untuk seterusnya. "Kami tak rela menghentikan Ngayogjazz," kata Bambang. "Entah sampai kapan. Sekali pun mesin utamanya mati. Meski harus didorong secara manual. Kami tetap akan melaksanakan."
Kakak Djaduk Ferianto, Butet Kertaredjasa saat menampilkan monolog di atas Panggung Gendheng -panggung utama Ngayogjazz 2019, mengatakan perhelatan itu telah mendapat pupuk yang luar biasa. "Nyawa Djaduk jadi rabuk (pupuk) Ngayogjazz. Tidak ada alasan Ngayogjazz berhenti. Teruskan mimpi Djaduk," seru Butet.
Pengamat seni dari Surakarta, Halim HD mengatakan ketiadaan Djaduk Ferianto menjadi tantangan bagi teman-temannya untuk melanjutkan Ngayogjazz. Musababnya, acara musik jazz yang acapkali disebut musik yang serius dan mahal menjadi lebih merakyat dan gratis di tangan Djaduk.
Ngayogjazz termasuk satu dari segelintir festival di Indonesia yang umurnya bisa lebih dari 10 tahun serta diadakan secara konsisten. "Kenapa bisa begitu? Yang saya tangkap, karena Ngayogjazz punya figur-figur yang mengikat," kata Halim dalam konferensi pers di Allana Hotel and Convention Center, Sleman, 14 November 2019.
Dia pun mengusulkan diterbitkan dua buku tentang Ngayogjazz. Buku pertama ditulis tim kerja Ngayogjazz yang berisi gagasan awal, pengalaman, hingga eksekusinya menwujudkan Ngayogjazz dari awal hingga nanti. Buku kedua ditulis oleh pengamat dari aspek konten musik dan perkembangannya. Buku-buku tersebut bisa menjadi model yang bersifat edukatif dan inspiratif buat masyarakat.