TEMPO.CO, Jakarta - Pendakwah Yusuf Mansur meminta masyarakat dan pemerintah tidak menggeneralisasi soal cadar dan celana cingkrang. Ia mengungkapkan pandangannya dalam tayangan video yang diunggah di akun Instagramnya pada Sabtu, 2 November 2019.
“Tidak elok ketika melihat yang tidak sama terus kita menggeneralisir dengan satu dasar misalkan kecurigaan atau kekhawatiran ada radikalisme atau bahaya unsur keamanan, menurut saya gak tepat, ini sama saja dengan menggeneralisir,” ujarnya.
Persoalan cadar dan celana cingkrang ini mengemuka setelah Menteri Agama Fachrul Razi mempersoalkannya. Fachrul menyatakan penggunaan cadar di lingkungan instansi pemerintah dan ancaman keamanan. Ia berpijak pada kasus penusukan terhadap mantan Menkopolhukam Wiranto di Banten beberapa waktu lalu. Salah seorang penusuknya bercadar.
Begitupun mengenai penggunaan celana cingkrang oleh Aparatur Sipil Negara adalah melanggar aturan. Dia mengingatkan ASN mengikuti semua aturan, termasuk cara berpakaian.
Yusuf menuturkan, manusia hidup dengan ada perbedaan, perselisihan pendapat, dan cara pandang. “Kalau dianggap nanti terjadi, itu kan dibangun dari kekhawatiran dan ketakutan.”
Menurut dia, seseorang dengan pandangan tertentu, yang menganggap badan atau tubuh seorang perempuan seluruhnya adalah aurat hanya mata, maka pakai niqab, ini berkaitan dengan keyakinan. “Tapi bila karena seperti itu hak seseorang jadi hilang, gak boleh menjadi pegawai negeri, bekerja di instansi pelayanan publk, itu kurang arif,” kata Yusuf.
Apalagi, kata dia, soal pemantauan radikalisme itu sudah ada polisi, tentara, dan aparatur negara. Mereka memiliki cara untuk mencegahnya. “Gak mungkin juga kita mengusir orang, gunakan dengan cara baik.”
Ia mencontohkan Bali, sebagai daerah yang bukan mayoritas muslim. “Orang asing yang pakai celana pendek, sampai di sana kemudian diarahkan memakai sarung yang diikat ala Bali. Orang gak merasa dipaksa. Itu bagus, itu namanya dakwah.”
Yusuf mengaku pernah dikritisi orang tidak berhijab masuk ke pesantren. “Saya bilang, aslinya gak boleh. Masih bagus dia mau datang ke pesantren, bersentuhan dengan Al Quran, terbiasa dengan kultur pesantren. Kalau diadang, ya sampai kapan kita terus tidak memahami perbedaan karena kita berbeda. Itulah intinya Bineka Tunggal Ika.”