Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2010 Ruang Alternatif Pementasan Film
Senin, 27 Desember 2010 15:14 WIB
TEMPO Interaktif,YOGYAKARTA – Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) untuk kelima kalinya digelar di penghujung tahun 2010 ini. Dibuka di Taman Budaya Yogyakarta, Minggu petang kemarin, sebanyak 38 film berdurasi panjang maupun pendek akan diputar dalam festival yang digelar hingga 30 Desember mendatang.
Terdiri dari 21 film berdurasi panjang dan 17 film pendek, film-film dari berbagai kawasan Asia itu akan diputar di 10 lokasi di Yogyakarta. Diantaranya di kampus Universitas Islam Indonesia, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan tiga lokasi di Taman Budaya.
Presiden JAFF Garin Nugroho mengatakan tema dalam festival kali ini adalah Recovery. Tema itu diambil sebagai ungkapan upaya pemulihan berbagai aspek kehidupan di Indonesia. Tak hanya Jogja setelah bencana Merapi, Recovery dapat dimaknai pada bidang politik, budaya hingga pendidikan di Indonesia. “Bisa dilihat dari berbagai aspek,” kata dia, Minggu (27/12) malam.
Festival film ini tak menawarkan film-film garapan industri besar yang laku ditonton orang. Sebaliknya, festival dibuat untuk menyediakan alternatif pemutaran bagi film yang tak banyak dikenal orang namun tetap memiliki konsep bagus. Salah satu film itu adalah “Teheran Without Permission” yang dibuat Spideh Farsi pada 2009. Berdurasi 83 menit, film asal Iran ini menjadi pembuka festival.
Menurut Garin, Teheran Without Permission dibuat dengan menggunakan kamera sederhana. Ada pelajaran berharga dalam pembuatan film itu. Ternyata dengan teknologi sedeharna sekalipun sebuah film berkualitas dapat diciptakan.
Bagus atau tidaknya sebuah film, Garin berpendapat, tergantung tujuannya. Jika dibuat untuk kepentingan industri, maka bikinlah sebuah film yang benar-benar berkualitas. Dia membandingkan dengan perkembangan film di Indonesia dewasa ini. Film Indonesia, jika telah dibuat berseri maka maka hasilnya menjadi kurang bermutu. “Ini menyepelehkan penonton namanya,” kata dia.
Selain Teheran Without Permission asal Iran, dipentaskan film dari negara Asia lain. Diantaranya Halaw dan Sheika (Philipina), Survival Song (Cina), Eighteen (Korea), Supermen of Malegaon dan Housefull (India) serta Third Person (Bangladesh). Selain itu, ada juga sejumlah film karya dalam negeri, semisal Belkibolang, Jakarta Maghrib, Minggu Pagi di Victoria Park dan Perampok Ulung.
Direktur Festival Ajish Dibyo menilai film-film yang dipentaskan bukanlah film yang jelek. “Tapi film yang tidak dapat ruang.” Sebuah film yang jarang ditonton orang, lanjut dia, belum tentu tak dapat diterima di pasaran. Namun karena keterbatasan ruang, film-film itu menjadi jarang dikenal orang. “JAFF hadir untuk memberi ruang film itu.”
Selain sebagai ajang festival, JAFF sekaligus menjadi ruang berkompetisi bagi film Asia. Ada sejumlah kategori film yang dikompetisikan, yakni Netpac, komunitas, film pendek dan JAFF sendiri. Sejumlah nama yang tercatat menjadi juri dalam kompetisi itu adalah Ratna Sarumpaet, Tonny Trimarsanto, Landung Simatupang, Seno Gumira Ajidarma, Vara Dilla dan Bayu Bergas.
Board of Program JAFF Budi Irawanto mengatakan ada banyak karya inspiratif dalam film yang diputar dalam festival. Semisal dalam Teheran Without Permission asal Iran. Film itu bisa menjadi pelajaran bagi pembuat film, bahwa dengan teknologi sederharan sekalipun film bagus dapat dihasilkan. Selain itu, dalam film-film pendek yang diputar pun, kadang banyak ditemui ide-ide segar.
“Ada juga film dari India yang bercerita tentang kesulitan membuat film,” kata dia, “Dan itu benar-benar inspiratif.”
ANANG ZAKARIA