TEMPO Interaktif, Bandung -Paruhnya yang berwarna kekuningan terbuka menganga. Matanya membelalak dengan jengger berdiri tegak. Bulu di wajah ayam itu merah acak-acakan, seperti basah tersiram darah. Itulah satu dari 30 lukisan ekspresif Ropih Amantubillah yang berjudul "Kepala Ayam". Kesan emosinya yang meluap-luap tertuang lewat goresan cat tebal dan pemakaian serat pohon palem sehingga menciptakan tekstur tebal. Kasar namun hidup.
Bagi pelukis kelahiran Bandung, 12 Februari 1959 itu, ayam tak cuma hewan. Unggas itu adalah lambang etos kerja keras. Maksudnya, mulailah bekerja sebelum ayam berkokok dan pulang setelah petang.
Bertajuk "Golden Moment", pameran tunggal di Rumah Seni Ropih Jl. Braga No. 43, Bandung, itu berlangsung 22 Mei hingga 13 Juni. Sebagian lukisan yang dibuat dalam kurun lima tahun terakhirnya ada yang dipinjam dari tangan kolektor. "Misalnya seri lukisan berjudul Pasar dan Barong Bali," kata kurator pameran Anton Susanto, Sabtu lalu.
Pada 1995-1999, Ropih memang pernah bermukim sambil belajar melukis di Bali. Selain ikut pameran bersama di Ubud, ia membawa suasana kegiatan masyarakat Bali ke atas kanvas. Misalnya lima perempuan yang tengah membawa sesaji pada lukisan berjudul "Pura".
Tema lukisan Ropih terlihat dekat dengan keseharian. Suasana di pasar, penjual sate keliling, tukang jamu, pemain kuda lumping, serta wayang golek, terlihat tak asing. Pada karya bertema seperti itu, anak sekaligus murid pelukis almarhum M. Mitra tersebut banyak menampilkan figur perempuan sebagai model.
Pada karya lain, Ropih tekun menggarap figur binatang, seperti ayam dan ikan, serta tanaman seperti pohon pisang. Sambil berimajinasi, tangannya juga membuat seri karya berjudul "Pohon Emas". Tempat menancapkan cita-citanya itu ia buat dengan bermacam bentuk. Ada yang seperti pohon kelapa dengan daun dari tempelan pelepah palem. Kain brokat bermotif bunga yang dipulas warna terang mengisi ruang kosong di sekelilingnya. Pohon emas lainnya botak tanpa daun, dan ada pula yang berdiri dengan otot kekar seperti batang beringin. Semuanya ikut dihiasi sapuan garis berwana keemasan.
Pameran ini sekaligus menandai masa keemasan dalam hidupnya. Mulai memegang kuas sejak usia tujuh tahun, Ropih dewasa kemudian tak cuma melukis. Sulung dari 10 bersaudara itu menjual sendiri karyanya dan pelukis lain di emperan Jalan Braga. Kini, guru SD di Bandung itu mampu membeli rumah kuno besar di jalan tersebut sekaligus menjadikannya sebagai galeri Rumah Seni Ropih.
Bagi seniman Tisna Sanjaya, rumah seni itu menghidupkan Jalan Braga dengan lukisan dan komunitas seniman di tempat itu. Galeri itu juga menyambung sejarah seni rupa, yang berhubungan dengan lahirnya mazhab Bandung di Jalan Braga yang sempat terputus.
Anwar Siswadi