TEMPO.CO, Yogyakarta- Sudah terlanjur itu wajar. Besok terlanjur juga wajar. Biasakanlah terus dengan terlanjur. Kamu sudah terlanjur bodoh saja. Aku tidak mempersoalkannya. Kita bisa memaklumi orang bodoh. Tapi orang keras kepala selalu menjengkelkan.
Inilah penggalan narasi yang akan dipentaskan kelompok seni teater Yogyakarta, Teater Gandrik berjudul Tangis di Cocert Hall, Taman Budaya Yogyakarta, Rabu malam, 11 Februari 2015. Pemain teater kawakan, Butet Kertaradjasa dalam pentas itu akan berperan sebagai juragan Abiyoso, juragan batik yang melakukan penyimpangan.
Abiyoso yang pernah menjadi prajurit semasa kolonial Belanda bercokol di Indonesia. Dia bekerja sama dengan Belanda dan mendapat duit Gulden sebagai modal untuk mendirikan pabrik batik. Padahal, duit itu harus dibagi-bagikan. Ia kuasai duit itu. Abiyoso korup. Seumur hidup rahasia kelakuan korup itu menghantuinya. “Juragan Abiyoso takut dengan suara tangis,” kata tim produksi Teater Gandrik, Citra Pratiwi ketika dihubungi, Senin, 9 Februari 2015.
Tema korupsi lekat dengan pentas teater itu. Penggalan narasi itu, kata Citra menggambarkan betapa rakyat memaklumi dan menganggap wajar dengan perilaku korup itu. Ini karena penguasa sengaja menciptakan situasi agar rakyat menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar dan sudah biasa.
Menurut Citra, pentas teater kali ini mengangkat berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini. Ada banyak narasi yang dihubungkan dengan konteks situasi Indonesia kini, seperti korupsi dan blusukan Presiden Joko Widodo. Tema teater secara umum bicara tentang Indonesia masa kini. “Cerita utama soal kehidupan masyarakat kecil yang berhubungan dengan penguasa,” kata Citra.
Baca Juga:
Tangis merupakan karya Heru Kesawa Murti, pendiri kelompok teater ini. Lakon yang dipentaskan Teater Gandrik ini berasal dari gabungan dua naskah karya Heru Kesawa Murti. Dua naskah itu adalah Juragan Abiyoso dan Tangis. Naskah yang dipentaskan kali ini diadaptasi oleh cerpenis dan penulis prosa Agus Noor.
Teater Gandrik yang berorientasi pada kesenian rakyat menggunakan pendekatan teater modern dalam setiap pementasan. Seniman kawakan Butet Kertaradjasa, Djaduk Ferianto, dan Susilo Nugroho yang kental dengan budaya Jawa kali ini mengangkat fenomena trik air mata yang sudah menjadi kebiasaan di Indonesia. “Lakon mementaskan mulai trik untuk mendapatkan iba hingga mendapatkan jabatan,” kata Citra.
Pementasan Tangis semula diperkenalkan sebagai pertunjukan dramatic reading. Kali ini pentas akan mengadopsi teori ‘Teater Penyadaran’, mengajak penonton untuk ikut terlibat dan merasakan permasalahan yang diangkat menjadi tema pertunjukan.
Pada 9 Desember 2014, Teater Gandrik menggelar pementasan berjudul Tangis untuk memperingati Hari Antikorupsi Sedunia di Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosumantri Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Waktu itu Gandrik menyajikan Dramatic reading atau pementasan dengan membaca teks. Dramatic reading digunakan Teater Gandrik pada 1980-an.
Sedangkan, pentas teater yang akan berlangsung di Taman Budaya Yogyakarta itu berlangsung tanpa teks. Pentas yang berdurasi dua jam itu juga tetap mempertahankan guyonan khas Gandrik dan melibatkan penonton. “Cerita yang dipentaskan pun lebih utuh dibanding pentas di UGM. Ada cerita baru,” kata Citra. Selain itu, pertunjukan kali ini menggunakan iringan musik teatrikal dan penataan cahaya. Pertunjukan berlangsung pada Rabu, pukul 20.00-22.00.
SHINTA MAHARANI