Menurut dia, kemajuan teknologi tak terelakkan lagi. Manusia modern sekarang tak lagi mampu membedakan keinginan dan kebutuhannya. Belum lagi segala macam ketersediaan alat untuk memudahkan, yang membuat kita terlena dan memaksa kita untuk mengikuti hal tersebut, demi mendapat pengakuan sebagai manusia modern. “Saya ingin membawa penonton masuk ke dalam cerita. Dan setelah pulang ke rumah, penonton bisa berpikir bagaimana menghadapi kondisi seperti ini.”
Sempat terjadi insiden kecil dalam penampilan berdurasi sekitar 35 menit ini. Pelipis Busrok robek dan berdarah. Penonton sempat kaget. Namun penampilan tetap berlanjut. “Itu hanya kecelakaan kecil,” kata sutradara yang pernah menetap di tanah Bugis sebelum hijrah ke Ibu Kota.
Seniman Makassar, Asdar Muis R.M.S., yang menonton pertunjukan ini, menilai teater yang ditampilkan bukanlah seni pertunjukan, melainkan sajak pertunjukan. Ia menilai pertunjukan itu merupakan pertunjukan abstrak yang realis yang menggunakan sendok-garpu sebagai simbol perebutan demi mempertahankan hidup. “Kalau soal makan, bukan cuma di kota yang bermasalah. Di rumah saya dan di desa-desa mengalami hal yang serupa. Susah cari makan.”
Asia Ramli Prapanca juga ikut berkomentar. Menurut dosen UNM ini, penonton bisa beraktualisasi dengan pementasan yang berlangsung. Walau penampilan itu bukan berada di panggung, melainkan tepat di depan penonton, tak mengurangi nilai kesan yang ingin disampaikan. “Ini pementasan yang mencoba meruntuhkan sebab-akibat. Bukan pementasan yang linear-naratif.” Tak hanya itu, pementasan ini sifatnya lintas narasi, lintas tema, lintas wacana, serta lintas teks. Meski pertunjukan ini digarap hampir tiga tahun, sutradara mengaku belum menemukan racikan yang sempurna.
SUTRISNO ZULKIFLI
Berita lain:
Mega: Emangnya Saya Ngurusin Kabinet
Gerindra Kongres, Adik Prabowo Datangi Ragunan
Jokowi: Peluang PPP dan PAN Bergabung 80 Persen