Tak lama kemudian, tambur besar itu dipukulnya keras-keras dalam ritme yang serempak. Tiga pemusik perkusi – Bhismo, Akbar, dan Bebi – bergulat dengan genderang tambun itu. Tak hanya terpaku pada satu posisi, mereka bergantian memukul tambur dengan menggeser posisi di antaranya. Sedangkan personil lainnya, Darman, memperkaya ritme melalui permainan jimbe.
Mereka adalah personil Kunokini, kelompok musik perkusi Jakarta yang Selasa malam lalu menggelar konser perdana mereka bertajuk Reinkarnasi. Konser tersebut tak lain membawakan repertoar dari debut album mereka dengan judul yang sama dan telah selesai diproduksi tahun lalu di bawah label Kereta Senja Records dan Demajors. "Baru tahun ini kami bisa menggelar konser. Sebuah pencapaian yang semoga tidak berhenti sampai di sini saja," ujar Bhismo usai konser.
Boleh dibilang, konser perdana mereka itu unik, segar, dan berani. Lihat penampilannya dalam repertoar Forest Addict. Penampilan empat penabuh perkusi ini terlihat seperti ritual pemanggilan roh yang dilakukan suku pedalaman di Afrika. Apalagi ritme pukulan tambur dimainkan serupa folk song, nyanyian rakyat, Afrika. Sesekali, mereka bahkan menyaru sebagai buto cakil (raksasa besar) yang saling bergelut. "Ini menggambarkan keserakahan manusia," kata Akbar.
Reinkarnasi berarti kelahiran kembali alat-alat tradisional. "Alat-alat ini masih eksis dan ada. Supaya anak-anak muda tahu, lalu menyukainya," ujar Bhismo menjelaskan.
Konser malam itu disajikan dalam sebuah cerita. Berkisah tentang bocah kecil yang dilahirkan kembali. Repertoar berjudul Re-inkarnasi menggambarkannya. Lalu, bocah itu tumbuh dan bermain dengan teman-teman sebayanya. Di sini, mereka membawakan Klontang dan Lagu Jawa. Ia menemukan kekayaan Indonesia seperti dalam repertoar Blue Yamko. Kunokini mengambil lagu Yamko Rambe Yamko asal Papua sebagai tema besarnya.
Titik balik mereka temukan usai klimaks dalam Bamboo Raining. Mereka mulai membawakan lagu dengan instrumen melodis. Ada gitar, genggong, dan Udu, semacam keramik yang memproduksi bunyi seperti kendang, sebagai sentuhan warna basnya.
Lalu, mereka berturut-turut membawakan repertoar dengan ritme-ritme menghentak, seperti 350 Years, Feelin' In One, Soldier, dan Indo Baru. Lagu-lagu ini bercerita tentang sebuah aksi yang dilakukan ketika sang bocah telah dewasa dan ingin menemukan jati dirinya.
Meski konsep konser tersusun dengan kisah semacam itu, alur cerita tak begitu terlihat jelas. Bhismo, pemusik sekaligus lead vokal juga kurang merangkul penonton supaya lebih interaktif. Padahal, tak hanya sekali ia mengajak penonton untuk menirukan ritme pukulan jimbe. Pada awalnya penonton terpancing untuk menduplikasi ritme itu, tetapi Bhismo ataupun pemusik lain yang sedang membawakan alat perkusif, tak serta merta mempertahankannya. Yang terjadi, justru kemandegan permainan dua arah ini. Kalau saja Kunokini bisa mempertahankan mood penonton, konser ini akan sangat hidup.
Meski begitu, penonton tetap berteriak tanda kagum setiap kali repertoar selesai dimainkan. Kursi gedung pertunjukan hampir dipenuhi oleh penonton. Bahkan, usai lagu terakhir, penonton tak henti-hentinya memberi standing applause dan mendesak mereka memainkan satu lagu lagi. Rasa Sayange kemudian dinyanyikan bersama. Kali ini, seluruh pemusik membaur ke penonton dengan alat musik masing-masing.
ISMI WAHID