TEMPO Interaktif, Yogyakarta -
Menatap coretan hasil karya perupa Ugo Untoro, 40 tahun, ingatan kita--terutama generasi yang hidup di era 1970 hingga 1990-an--akan langsung tertuju pada penguasa Orde Baru: Soeharto. Coretan bernuansa politis itu dibuat Ugo pada 1998, ketika masyarakat Indonesia larut dalam euforia reformasi. Saat itu, seperti kita tahu, sang penguasa Orde Baru yang otoriter dapat ditumbangkan.
Sebagai perupa, Ugo memang sempat larut dalam euforia reformasi. Namun itu hanya sementara, karena hanya ada 10 karya Ugo tentang Keluarga Cendana (keluarga Soeharto) dari seribuan coretannya yang dipamerkan di Taman Budaya Yogyakarta hingga 21 Januari 2011.
Dengan banyaknya karya yang dipajang dalam pameran bertajuk Papers and Ugo itu, Ugo seakan ingin menunjukkan pentingnya sket sebagai basis seni rupa, meski ia telah bergelut dengan berbagai medium seni rupa. Ugo memanfaatkan berbagai macam kertas guna “melampiaskan” hasratnya untuk corat-coret. Ugo memang tidak pilih-pilih kertas, dari bekas bungkus rokok, lembaran buku bergaris, kertas bekas undangan, kertas bekas kalender, bahkan hingga kertas bekas revisi skripsi. Hampir setiap hari Ugo berkarya dengan kertas-kertas bekas yang ada di dekatnya.
Bagi Ugo, kertas sebagai medium seni rupa tidak kalah gengsinya dibanding kanvas. Ugo bahkan menilai kertas lebih berbesar hati dibanding kanvas. “Ia menampung coretan tak bermakna, gambar-gambar gagal, disobek, dibuang,” katanya.
Meski begitu, Ugo tak pernah sekali pun membuang hasil coretannya di atas kertas. Ia bahkan sangat rajin menyimpan karya-karyanya itu dalam koper dan kotak plastik. Tidak mengherankan jika kurator pameran, Aminuddin T.H. Siregar, harus bekerja ekstrakeras memilih karya mana yang harus dipajang di ruang pameran. Begitu banyak materi yang dipamerkan sehingga harus dibuatkan sketsel tambahan, padahal ruang pamer di Taman Budaya Yogyakarta sangat luas.
Saking banyaknya karya, kurator akhirnya memisahkan karya berdasarkan tahun pembuatan. Maka display karya pun dikelompokkan mulai karya tahun 1987 hingga 2007.
Ugo lebih banyak menggunakan bolpoin untuk menuangkan ide ataupun kegelisahannya di atas kertas. Namun tidak jarang ia juga menggunakan spidol, krayon, atau cat air. Ia bahkan memanfaatkan api rokok untuk melubangi kertas. Kali lain, Ugo juga membuat karya kolase.
Pameran tunggal ini juga membuka mata publik bahwa Ugo pernah serius menggarap komik. Hanya komik karya Ugo berbeda dengan komik pada umumnya, yang selalu memenangkan sang tokoh. Simaklah komik tentang Pendekar Cambuk Sakti yang dibuatnya pada 2004.
Alkisah, Tukijo--sang Pendekar Cambuk Sakti--baru turun gunung setelah menimba ilmu kanuragan selama sembilan tahun di Gunung Kapur Hitam. Tiba-tiba ia melihat dua bajingan yang sedang memerkosa seorang gadis. Merasa sudah berilmu tinggi, Tukijo berusaha menyelamatkan sang gadis dari tindakan dua bajingan itu.
Apa yang terjadi kemudian? Tukijo alias sang Pendekar Cambuk Sakti ternyata tewas dengan luka di sekujur tubuhnya ketika berkelahi dengan dua bajingan itu. “Dua bajingan tengik itu, preman picisan itu, meneruskan garapannya lagi, sampai gadis itu tewas juga,” tutup Ugo dalam komik karyanya tersebut.
Sebagian besar karya Ugo memang berupa sketsa, meski tidak selamanya sketsa itu kemudian diteruskan ke kanvas. Bagi Ugo, membuat sketsa di atas kertas adalah mengasah basis seni rupa. Garis dan sketsa, menurut Ugo, adalah basis seni rupa, seperti halnya maestro seni rupa Picasso yang sangat matang dan sempurna dalam hal garis.
Menurut Ugo, banyak perupa yang lebih suka berkarya di atas kanvas, dan menyepelekan karya-karya di atas kertas. “Saya hanya ingin kembali ke basis (seni rupa). Seni, betapapun canggihnya, tetap harus memiliki roh. Penguasaan terhadap garis menjadi sangat penting. Penguasaan terhadap garis inilah yang sudah banyak ditinggalkan,” katanya.
Menurut kurator Aminuddin T.H. Siregar, melalui pameran ini, Ugo ingin mendobrak hierarki medium. Di lapangan seni rupa, kasta kertas selalu ditaruh di bawah (karya) kanvas. Karya di atas kertas selalu dianggap sebagai proto-seni. “Kenyataan inilah yang barangkali membuat karya-karya kertas kurang diterima sebagai karya seni,” tulis Ucok, panggilan akrab Aminuddin T.H. Siregar, dalam katalog pameran.
Selain itu, Ugo memanfaatkan kertas sebagai media untuk mencurahkan kegelisahannya dalam bentuk puisi. Meski cukup menarik, sejumlah puisi karya Ugo tidak lolos seleksi kurasi sebagai materi pameran. “Saya enggak tahu kenapa tak ada satu pun puisi saya yang dipamerkan. Ya, sudahlah, itu hak kurator,” ujarnya.
HERU C. NUGROHO