TEMPO Interaktif, Jakarta - Ada suguhan menarik dalam perhelatan musik Ngayogjazz 2011, yang digelar di pelataran rumah perupa Djoko Pekik di Sembungan, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, Sabtu pekan lalu. Dalam perhelatan musik tahunan yang mengusung tema “Mangan Ora Mangan Ngejazz” itu, tampil tiga komunitas jazz dari tiga kota: Komunitas Jazz Jogja, Semarang, dan Bali. Mereka tampil di antara nama-nama kondang musisi jazz Indonesia, seperti Simak Dialog, ESQI:EF (Syaharani dkk), Tohpati Bertiga (Tohpati, Indro Hardjodikoro, Bowie), dan Chaseiro–yang dimotori Chandra Darusman.
Sayangnya, dari tiga komunitas jazz itu, Komunitas Jazz Bali tak bisa datang. “Saya tidak tahu kenapa mereka tak datang,” kata Djaduk Ferianto, Pengageng Hangabehi Ngayogjazz 2011. Meski begitu, kedua komunitas yang tampil hari itu tetap menarik. Mereka tetap tampil memukau di tiga panggung–Panggung Siter, Slompret, dan Tambur –yang dibangun di antara rerimbunan pohon di lahan seluas sekitar 3 hektare milik Djoko Pekik.
Bagi Komunitas Jazz Jogja, perhelatan musik itu sekaligus menjadi kesempatan mereka memperkenalkan album keduanya, Sesarengan. Sebetulnya, komunitas jazz itu bukan kelompok dalam arti sebenarnya. “Sebab, Komunitas Jazz Jogja ini memang tanpa ada ketua dan pengurusnya,” ujar Danny Eriawan, salah seorang aktivis Komunitas Jazz Jogja.
Komunitas ini terdiri atas individu-individu yang dipersatukan oleh interes yang sama, yakni musik jazz. Mereka terdiri atas musisi akademisi maupun musisi otodidaktik. Sebelum muncul istilah Komunitas Jazz Jogja tiga tahun lalu, para musisi jazz Kota Gudeg ini lebih sering tampil dengan label Jogja Jazz Club. Mereka sering tampil di kafe-kafe. “Belakangan, nama Jogja Jazz Club tidak dipakai lagi karena rancu dengan kelompok pemilik mobil Honda Jazz di Yogya,” Danny menjelaskan.
Para musisi Jazz Jogja itu juga sering menggelar konser di area terbuka pinggir jalan. Program ini kemudian diberi label “Jazz on the Street”. Beberapa musisi lebih sreg memakai label “Jazz Sobo Ndalan” (jazz yang berkeliaran di jalanan). Mereka memainkan berbagai aliran jazz, dari mainstream, jazz modern, hingga transgenre.
Pada 2007, atas prakarsa Djaduk, para musisi Jazz Jogja itu diberi kesempatan tampil di De Click Cafe di kawasan Kotabaru. Hanya berlangsung setahun, aktivitas di De Click Cafe ini terhenti karena ada renovasi bangunan. Lalu, pada Desember 2009, aktivitas para musisi Jazz Jogja ini mendapat tempat di halaman Bentara Budaya Yogya. Dan lahirlah perhelatan rutin setiap Senin sore di halaman Bentara Budaya dengan label “Jazz Mben Senin”. Maksudnya, pentas musik jazz saban Senin. Merek yang kerap mengisi acara jazz mingguan itulah yang kemudian disebut Komunitas Jazz Jogja. Hingga kini, sekitar 30 musisi yang aktif di Komunitas Jazz Jogja.
Menurut Djaduk, Komunitas Jazz Jogja memiliki karakter khas dibanding komunitas jazz di kota lain. Salah satunya pergesekan dengan pelaku seni lainnya di Yogyakarta yang begitu banyak, dari komunitas perupa hingga komunitas seni tradisi. Pergesekan antara musisi jazz dan pelaku kesenian lain itu kemudian disebut dengan istilah “sanja” oleh Djaduk. “Sanja” adalah sebuah kata Jawa yang berarti saling berkunjung.
Semangat “sanja” itulah yang kemudian menelurkan album kedua Komunitas Jazz Jogja berjudul Sesarengan. Album ini berisi tujuh lagu yang berbasis pada lagu-lagu Jawa, antara lain Menthok-menthok ciptaan Ki Narto Sabdho, Yen Ing Tawang Ana Lintang karya Anjar Any, Cublak-cublak Suweng, dan Lesung Jumengglung karya Ki Narto Sabdho.
“Semangat lokal yang dimiliki teman-teman Komunitas Jazz Jogja inilah yang membuat mereka tidak terjebak menjadi epigon atau peniru,” ujar Djaduk. “Mereka tidak hanya memainkan repertoar standar jazz yang sudah ada, karena mereka memang bukan orang bule. Mereka sama sekali tidak berorientasi menjadi londo (bule).”
Semangat membumikan musik jazz ini juga terjadi pada Komunitas Jazz Semarang. Mereka lebih suka menyebut dirinya sebagai Komunitas Ngisor Ringin (komunitas di bawah beringin). Sebutan ini muncul karena mereka sering bermain di panggung terbuka di Cafe Ours di kawasan Tanah Putih Semarang. “Kebetulan panggungnya dibangun di bawah pohon beringin,” kata Yuki, salah seorang aktivis Komunitas Jazz Ngisor Ringin.
Sama seperti Komunitas Jazz Jogja, Komunitas Ngisor Ringin ini juga merupakan sebuah organisasi terbuka yang dipersatukan oleh interes yang sama: musik jazz. “Teman-teman Komunitas Jazz Jogja lebih beruntung karena punya lebih banyak kesempatan tampil dibanding kami,” kata Reza, Manajer Komunitas Ngisor Ringin.
Pada perhelatan Ngayogjazz 2011 ini, Komunitas Ngisor Ringin memboyong tiga grup, yakni Rencang, Buzztard, dan Aljabar. Mereka sebenarnya dijadwalkan main di panggung Tambur bersama Komunitas Jazz Jogja, Iga Mawarni, Komunitas Jazz Bali, dan Komunitas Blues. Hujan deras yang mengguyur arena pertunjukan membuat pentas Komunitas Ngisor Ringin harus digeser ke panggung Siter.
Sayangnya, Komunitas Ngisor Ringin naik panggung setelah penampilan Chaseiro dan ESQI:EF, sehingga penampilan mereka menjadi sepi penonton. Apalagi, pada saat yang bersamaan, Glenn Fredly unjuk kebolehan di panggung Slompret. Meski begitu, Komunitas Ngisor Ringin tetap bersemangat tampil di atas panggung dengan keterampilan teknis bermain musik jazz di atas rata-rata. Selain memainkan repertoar jazz standar, mereka memainkan repertoar jazz hasil ciptaan mereka sendiri.
Memang, ketidakhadiran Komunitas Jazz Bali di Ngayogjazz 2011 sangat disayangkan. Menurut Djaduk, Komunitas Jazz Bali sebenarnya tidak berbeda jauh dengan Komunitas Jazz Jogja dan Komunitas Ngisor Ringin Semarang, yang punya semangat membumikan musik jazz. “Apalagi sebagian anggota Komunitas Jazz Bali adalah orang Yogya atau setidaknya orang Bali yang telah lama menempuh pendidikan formal di Yogya,” katanya.
HERU C NUGROHO