Ada lebih dari 500 karya seni – lukisan dan patung – karya seniman yang dipamerkan dalam kegiatan itu. Di antara mereka berasal dari luar Yogyakarta, seperti Surabaya, Cirebon, dan Temanggung. Selain karya seni itu, panitia pameran juga menampilkan diorama bencana.
Ketua Umum Pameran Totok Sudarto mengatakan, seluruh benda dalam diorama yang disajikan dalam gedung pameran itu adalah asli dari daerah bekas bencana Merapi. Reruntuhan rumah, atap, perabot meja-kursi, piring, dan peralatan dapur bahkan pasir serta tanah, semuanya diambil dari Dusun Ngepringan, Desa Wukisari, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. “Warga Dusun sendiri yang bergotong royong membawanya ke sini,” kata Totok.
Desa yang dihuni 102 kepala keluarga itu kini rata dengan tanah. Bahkan sejumlah warganya tewas saat awan panas yang biasa disebut wedhus gembel Merapi menerjang dusun mereka. “Ada satu keluarga yang terkubur,” ujarnya.
Menurut Totok, uang hasil penjualan lukisan dan patung dalam pameran akan disumbangkan ke warga dusun itu. Hitungan pembagian hasilnya, seniman mendapat bagian 50 persen dari penjualan karya mereka. Dan sisanya, sebesar 50 persen, disumbangkan pada korban bencana. Hingga saat ini, tiga buah lukisan telah ditawar seorang calon pembeli dari Singapura.
Selain menjual lukisan, panitia juga menjual suvenir bencana Merapi. Bentuknya abu vulkanik yang disimpan dalam sebuah botol berukuran kecil. Masing-masing dijual seharga Rp 10 ribu. “Sudah banyak terjual, hasilnya sekitar dua jutaan rupiah dari suvenir itu,” Totok mengungkapkan.
Mantan Bupati Bantul itu mengatakan, tak menutup kemungkinan artefak bekas bencana yang ada dalam gedung pameran itu akan dijual jika ada penawar yang menginginkan. Namun pada prinsipnya, barang-barang itu bersifat pinjaman dari warga. “Sudah ada kesepakatan,” ujarnya.
Masa pameran “Jogja Gumerah! Jogja Bangkit 2010” itu sebenarnya berlangsung lebih lama dari yang dijadwalkan. Awalnya, panitian berencana menggelar pameran selama 7 hari saja, dari 10-17 Desember. Namun karena tingginya minat warga, panitia memutuskan untuk memperpanjang jadwal pameran.
Direktur Eksekutif Jogja Nasional Museum KPH Wironegoro menyambut antusias penambahan masa pameran itu. Dengan kian lamanya pameran, masyarakat memilih kesempatan yang lebih panjang untuk menikmati karya para seniman. “Tentu yang utama, ini karena membludaknya minat masyarakat,” katanya.
Namun, Wironegoro menambahkan, pameran itu tak sekadar pameran biasa. Melalui pameran dan penampilan artefak sisa bencana Merapi, masyarakat bisa tergugah rasa empatinya terhadap korban bencana. “Bukan untuk senang-senang seniman saja, tapi juga ekspresi warga Jogja,” ujarnya.
ANANG ZAKARIA