TEMPO Interaktif, Jakarta - Tawa dan aplaus panjang dari sekitar 300 undangan malam itu merebak. Pasinrilik Syarifuddin Daeng Tutu menyapa dengan aksen yang janggal di telinga. "Good night, ladies and gentlemen," kata pemain Sinrilik yang namanya mendunia ini di gedung Pusat Kegiatan Penelitian Universitas Hasanuddin Makassar, Senin malam awal bulan lalu.
Syarifuddin sebelumnya tampak memicingkan mata. Ia menatap lembaran naskah yang akan dibaca dalam pertunjukan malam kebudayaan itu. Kacamata baca berukuran empat persegi yang ia pakai melorot hingga nyaris menyentuh ujung hidung.
Dalam pentas, pria asal Taeng Gowa ini memakai baju merah menyala selaras warna kain pengikat kepala berbentuk limas ala Sultan Hasanuddin. Ia duduk bersila di panggung berukuran 1,5 x 2 meter sedikit menjorok ke depan dari panggung utama. Dua pria muda menemaninya. Mereka berperan sebagai pemberi komentar atas naskah.
Syarifuddin pun memulai menuturkan. Disaksikan para undangan. Deretan paling depan kursi penonton terdapat Erwin Schweishelm, Direktur Friedrich Ebert Stiftung Indonesia, dan Bambang Sulistiyo, Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin.
Penuturannya diawali dengan penggalan riwayat tiga tokoh nasional: Muhammad Hatta, Sutan Syahrir, dan Tan Malaka. Syarifuddin tampil memukau. Meski naskah yang dibaca telah disiapkan panitia, ia sesekali melakukan improvisasi dengan menginterpretasi penggalan naskah seputar kegigihan ketiga tokoh tersebut dalam memperjuangkan demokrasi.
Terkadang ia menuturkannya dalam bahasa Makassar yang begitu fasih. Interpretasi itu sesekali diungkapkannya dalam bahasa Indonesia. Penampilannya tersebut membuat penonton tertawa atau memberi aplaus panjang.
Kedua pria di hadapannya pun tak mau ketinggalan. Secara bergantian mereka memberi komentar. Sambil terus "mengerek" alat musik berdawai dua mirip biola, Syarifuddin seolah tak mau berhenti berceloteh. "Eee..ee..eee…, sejarah adalah fondasi masa lalu untuk bisa menata masa depan demokrasi yang lebih baik," kata dia. "Maka jangan pernah melupakan sejarah."
Syarifuddin secara jelas menggambarkan kegigihan tiga bapak tokoh revolusi itu melalui setiap bait syair yang dituturkan. Satu-satunya catatan penampilan malam itu adalah pengucapan beberapa istilah serapan bahasa asing. Ia sempat harus berhenti sejenak untuk bisa melafalkan secara benar kata-kata, seperti founding fathers atau the new rules of the world.
"Di luar itu semua, penampilannya sangat bagus," kata Bambang Sulistiyo dalam sambutan akhir acara. "Beliau juga seorang penutur yang sanggup menyampaikan pesan tersirat dalam setiap teks yang dibaca."
Menurut Bambang, interpretasi Syarifuddin terhadap naskah bersumber dari literatur sejarah itu menunjukkan pemahaman dan pengetahuan luas Syarifuddin terhadap posisi dan keberadaan sejarah sebagai akar demokrasi bangsa.
"Melalui seni dan budaya, sinrilik bisa jadi media efektif dalam menyampaikan berbagai pesan, termasuk ide-ide tentang demokrasi," Bambang menegaskan. "Adalah tantangan berat bagi generasi muda untuk bisa melestarikan warisan budaya ini."
Erwin Schweishelm mengaku sangat terpukau oleh Sinrilik Syarifuddin. Tampil dengan setelan batik warna gelap, intelektual muda ini menyampaikan kekagumannya terhadap penampilan malam itu. "Amazing," kata dia. "Saya pun baru tahu bawa Sinrilik mirip biola."
***
Mendung Budaya Tutur
Sosok Syarifuddin Daeng Tutu dan Sinrilik sangat identik. Saking identik, kini ia satu satunya seniman Sinrilik di Sulawesi Selatan yang tersisa. Terlebih setelah kematian seniman Sinrilik, Sirajudddin Bantang, yang juga kakaknya.
Meski popularitas Syarifuddin jauh melampaui sang kakak, bekas karyawan salah satu instansi pemerintah ini tak kuasa menyembunyikan kegalauan terhadap seni bertutur melalui Sinrilik. Bisa dikatakan seni tradisional ini di ambang punah. "Sejauh ini, belum ada generasi muda tertarik dan mau belajar Sinrilik," kata dia.
Meski demikian, Daeng Tutu, demikian ia disapa, enggan menyalahkan generasi muda yang kurang berminat terhadap Sinrilik. Seni tersebut dalam beberapa dekade terakhir memang jarang dipertontonkan. Seharusnya, ia menilai, pemerintah lebih proaktif mempromosikan sekaligus bisa menumbuhkan minat belajar Sinrilik di kalangan generasi muda.
"Tanpa upaya itu, Sinrilik mungkin hanya barang antik dan cerita generasi mendatang," kata seniman yang telah menyambangi beberapa negara dengan alat musik gesek berdawai dua ini. Dulu, Sinrilik digunakan sebagai media penyampai informasi, baik kalangan istana maupun rakyat jelata. Isinya bisa berupa kritik. "Setelah saya, entah siapa lagi yang melanjutkan kesenian ini."
ARIFUDDDIN KUNU