TEMPO Interaktif, Yogyakarta -Perupa Hardiman Radjab, 50 tahun, mengusung dua karya tiga dimensi yang cukup menggelitik. Ia m enggandengkan dua buah helm menjadi satu dalam karya berjudul Siamese Twin. Satunya lagi, ia merangkai delapan buah kaca spion hingga menyerupai tanduk rusa dalam karya bertajuk My Deer.
Siamese Twin dan My Deer sebenarnya karya lama alumnus Institut Kesenian Jakarta 1987 ini. Keduanya adibuat pada 2006. Meski produk lama, dua karya itu dipilih oleh kurator Frigidanto Agung karena cukup mewakili tema pameran, yakni berbicara tentang realitas perkotaan.
Siamese Twin, menurut Hardiman, terilhami dari banyaknya kasus bayi kembar siam. Salah satunya adalah kasus kembar siam dempet di kepala. Karena itu, Hardiman kemudian menyiapkan sebuah helm untuk bayi kembar siam seperti itu. “Jangan-jangan bayi masa depan memang akan seperti itu,” kata Hardiman enteng.
Sementara My Deer terilhami dari kebiasaan kaum bangsawan yang suka memajang tanduk rusa atau kepala banteng di tembok rumahnya. Kebiasaan seperti itu tak lagi bisa dilakukan oleh orang-orang kota. Bagi orang kota saat ini, gedung-gedung tinggi adalah belantara sementara satwanya adalah mobil dan motor.
“Karena tak lagi ada hutan dan rusa, generasi saya hanya kebagian masang spion motor. Kalau memasang tanduk rusa, justru malah ditangkap,” kata Hardiman sembari tertawa berderai.
Sifat orang kota yang konsumtif direkam perupa Boncu T Bondho, 40 tahun, lewat karya “Gift from China”. Ia merekam aktivitas orang-orang kota yang dengan bangganya mengkonsumsi alat-alat komunikasi produk China yang sedang membanjir saat ini.
Sementara perupa Guntur Wibowo, 30 tahun, mengangkat nasib kaum urban di tengah dominasi perusahaan multinasional seperti Starbucks dan McDonald. Guntur menghadirkan para pengemis di pinggir jalan dengan latar belakang logo “McDonlad”. Ia juga menghadirkan seorang gadis kecil yang tengah bersandar di pintu rumahnya yang reyot, dan didekatnya ada logo “Starbucks Coffee”.
Menurut kurator Frigidanto Agung, tema besar pameran ini adalah tentang keberagaman. “Perupa membaca realitas perkotaan dan kemudian menuangkannya dalam karya dengan beragam corak,” katanya.
Setelah di Yogyakarta, materi yang sama akan dipamerkan secara berantai mulai dari Surabaya (Juli), Bali (akhir tahun) dan puncaknya di Galeri Nasional Jakarta pada tahun 2011 nanti.
Heru CN