TEMPO Interaktif, Jakarta:"Namaku Shakuntala. Ayahku menyebutku sundal. Sebab, aku tidur dengan beberapa laki-laki dan beberapa perempuan, meski tidak menarik bayar. Sebab, bagiku hidup adalah menari. Sebab, menari adalah eksplorasi yang tak habis-habis."
Inilah perkenalan yang blak-blakan dari Sri Qadariatin dalam monolog bertajuk Shakuntala di Komunitas Salihara, Jumat-Sabtu malam lalu. Ini bagian dari rangkaian Festival Salihara 2008. Shakuntala adalah fragmen yang diramu dari novel Saman dan Larung karya Ayu Utami.
Aktor Teater Garasi ini memulainya dengan sebuah pertunjukan sulap ringan. Perpindahan sapu tangan merah dari tangan kanan ke tangan kiri. Lalu muncul di genggaman tangan lainnya. Kemudian menari genit bagai penari mulan rough di pentas Hollywood.
Shakuntala mulai bicara tentang asusila, cinta, dan nafsu. Rentetan norma dan adat yang membelenggu layaknya sulir merambat pada tanaman. Ia bercerita tentang ayahnya yang memasung tubuh gemulainya karena bercumbu dengan "raksasa". Lepas matahari terbenam, pasung-pasung itu mengikat dirinya sehingga lama-lama menjadi bagian dari tubuh tersebut.
Dalam pertunjukan 40 menit, semua masalah diraup sehingga Shakuntala bergairah dan berjoget di bawah gemerlap lampu disko yang bundar dan mengkilap.
Monolog yang disutradarai Naomi Srikandi ini dibuat berdasarkan tema ilusi. Ilusi yang ditempatkan sebagai sebuah persepsi yang dianggap salah oleh khalayak, seperti keperawanan, status perempuan dan laki-laki, dan juga tentang seks. Namun, pada pentas ini banyak pula ilusi yang dijadikan pembelaan atas apa yang salah itu.
Shakuntala adalah tokoh perempuan dalam pewayangan dari kisah Mahabarata. Ia lahir dari rahim bidadari Menaka yang dibuahi oleh Prabu Wismamitra. Sakuntala diangkat anak oleh Begawan Kanwa.
Lalu Shakuntala menikah dengan Prabu Dusmanta. Lahirlah Sarwadamana dari rahim Shakuntala. Bayi laki-laki gagah ini kelak menjadi Bharata, seorang raja muda kerajaan Astinapura dan menjadi pemimpin dunia.
Aguslia Hidayah