TEMPO.CO, Jakarta -Siang itu tepat menjelang pukul 13.00 WIB. Lima puluh orang pengunjung pertama The World of Ghibli Jakarta Exhibition berbaris penuh rasa tak sabar. Pintu ballroom Hotel Ritz Carlton, Pacific Place, Jakarta masih tertutup.
Koji Hoshino, Presiden Direktur Studio Ghibli Jepang turut hadir didampingi seorang penerjemah berdiri di hadapan pintu. Ia memimpin langsung rangkaian tur selama 20 menit pertama untuk memperkenalkan sederet instalasi karakter-karakter animasi rumah produksi Ghibli. “Kalian adalah tamu yang paling pertama. Instalasi belum selesai sepenuhnya, kami harap kalian mengerti tapi kalian tetap bisa melihatnya saat ini,” ujar Hoshino, Kamis 10 Agustus 2017.
Tapi bagaimana pun menurut dia ini adalah pameran terbesar yang pernah digelar di luar Negeri Sakura tersebut. “Itu mengapa kami ingin bisa ditampilkan sangat layak,” tambahnya.
Pameran World of Ghibli dijadwalkan sudah dapat dinikmati sejak hari ini. Namun ada sejumlah instalasi yang belum selesai terpasang. Alasannya pihak Ghibli ingin apa yang ditampilkan dalam pameran yang digadang-gadang termasuk terbesar se-Asia Tenggara ini bisa tampil sempurna.
Berdasarkan pengamatan Tempo, secara garis besar suasana yang ditampilkan mendekati dunia dan karakter Ghibli layaknya di film-film animasi 2 dimensi yang mereka suguhkan.
Suasana penuh penuh pepohonan layaknya di hutan begitu tercipta kala kaki pertama kali melangkah masuk. Suguhan pertama yang pertama kali nampak adalah Robot Laputa yang ada di film "Tenkuu no Shiro Laputa atau Castle in the Sky (1986).
Karakter robot ini sendiri berukuran jauh lebih besar ketimbang robot yang juga ada di bagian atap gedung Museum Ghibli di Mitaka, Jepang. “Untuk pertama kalinya di robot Laputa yang ditampilkan ini leih besar dan lebih mirip dengan akrakter yang ada dalam film,” papar Hoshino.
Pria yang kerap tersenyum ini pun menerangkan kalau Hayao Miyazaki, pendiri Studio Ghibli senantiasa menciptakan karakter khas dalam setiap animasi yang ia buat. Ia pun menjelaskan jika Miyazaki merupakan sosok yang sangat memiliki imajinasi yang unik dan menyukai benda yang mengudara. Salah satu contohnya adalah keberadaan Pesawat Flappter yang berwujud serupa serangga yang terdapat di film yang sama.
Tak jauh dari keberadaan Robot Laputa, rumah pemandian bernuansa merah yang menjadi latar tempat film Spirited Away berdiri. Sayang saat itu pemandian belum sepenuhnya terpasang. Hoshno menjanjikan jika beberapa waktu kemudian instalasi sepenuhnya terpasang, pengunjung bisa melihat bagaimana suasana di dalam pemandian yang menurutnya ada bagian tertentu serupa menyelami dunia kreatif seorang Yamazaki.
Melangkah tak jauh dari pemandian, kembali akan ditemui benda udara yakni pesawat berwarna merah khas Porco Rosso. Film mengenai seekor babi yang menurut Hoshino karakter tersebut merupakan potongan karakter Miyazaki sendiri.
Di film ini pula Hayao menggambarkan sosok perempuan ideal menurut dirinya. “Hayao kerap menaruh mimpi, cita-cita, dan harapannya dalam film animasi,” terang Hoshino. Saat bercerita soal Porco Roso ini pula, Hoshino menjelaskan arti dari penggunaan nama Ghibli yang diambil Miyazaki dari sebuah perusahaan pesawat di Italia yang berarti hembusan angin panas di Gurun Sahara.
Tepat di seberang instalasi pesawat Porco Roso, sebuah papan besar menampilkan si gadis ikan kecil Ponyo sedang berdiri di atas gelombang air yang nampak hidup. “Imajinasi Miyazaki melihat gerak air seperti ikan yang lantas diterjemahkan dalam animasi Ponyo The Cliff by The Sea, film produksi Studio Ghibli di era 2000-an—mengingat banyak animasi Ghibli yang diproduksi pada masa 80-an dan 90-an.
Melintasi dunia Ponyo, karakter serangga raksasa Ohmu dalam film Nausicaä of the Valley of the Wind Ditampilkan layaknya dalam film yang terletak di kawasan hutan beracun. Ohmu menjadi karya kolaborasi seniman Jepang dan Indonesia untuk membuat blue print animasi yang diterjemahkan dalam instalasi.
Beberapa langkah dari hutan beracun, sebuah kastil setinggi 8 meter lebih berdiri. Apalagi kalau bukan kastil dari film Howl No Ugoku Shiro atau dikenal juga dengan judul Howl’s Moving Castle. Hoshino tak lelah memberi cerita di balik karakter dalam karya-karya Miyazaki. Menurut dia, setiap kali miyazaki ingin mebuat sebuah karakter baru ia hanya akan membuat satu sketsa saja.
Untuk film Howl’s Moving Castle ini mulanya ia hanya menggambar sebuah kastil yang kemudian dielaborasi dengan ide timnya sehingga menjadi kastil yang memiliki kaki dan bisa berpindah tempat. Lagi-lagi menurutnya replika kastil ini dibuat lebih besar dan mendekati jenis asli dalam animasinya. Suarakhas yang muncul dari kastil pun terdengar berulang kali.
Anda tahu karakter apalagi yang selanjutnya bisa disaksikan dalam pameran ini setelah kastil milik Howl ini? Ada Totoro dan Neko Bus atau bus kucing yang sempat mengantarkan tokoh Satsuki mencari Mei yang sempat hilang. Dalam film, dua karakter ini—Totoro dan neko bus—tak bisa dilihat oleh orang dewasa.
Instalasi Totoro termasuk yang cukup direspons lebih ramai oleh pengunjung saat itu. Mungkin karakter Totoro ini menjadi ikon dari Studio Ghibli, layaknya Mickey Mouse di Disneyland. Sentuhan pendekatan personal turut hadir dalam instalasi neko bus yang menuliskan alamat tujuan di bagian kepala bus kucing dengan tulisan Jakarta dalam tulisan katakana—digunakan untuk menulis kata-kata yang berasal dari bahasa asing yang sudah diserap dalam bahasa Jepang. Instalasi Totoro yang berdiri tepat di depan bus menurut Hoshino bukan kondisi final. Seharusnya makhluk menggemaskan berwarna abu itu berdiri di samping pohon yang terletak tak jauh dari posisi bus berada.
Di seberang bus kucing, ada hutan yang merupakan latar film Princess Mononoke, sebuah latar simbolis yang sangat penting dalam film tersebut. Tak lupa, akan ada juga setting rumah tempat tinggal seorang anak laki-laki bernaa Shawn yang rupanya juga ditinggali oleh keluarga mini seperti Thumbellina namun ala Ghibli yakni The Secret World of Arrietty (2010).
Masih ada beberapa sketsa dan instalasi yang saat itu belum sepenuhnya terpasang. Kendala teknis membuat pameran yang sudah dimulai sejak 10 Agustus itu pun akhirnya baru bisa dinikmati seadanya.
Namun untuk membayar pertunjukkan yang belum paripurna tersebut, pihak panitia menyiapkan tiket khusus bagi pengunjung yang hadir agar dapat menikmati pameran saat semua instalasi sudah terpasang semua. “Kami menyayangkan ini belum selesai karena hal teknis. Saya berharap Anda dapat kembali untuk melihat semuanya ketika sudah selesai, arigato goaimasu,” ucap Hoshino sembari membungkukkan badannya. Pameran ini akan berlangsung hingga 17 September mendatang.
Bagi pengunjung yang belum begitu mengenal atau mengatahui seperti apa dunia Ghibli, tentunya tur dengan penjelasan rinci sangat dibutuhkan. Nanien, salah satu pengunjung yang juga sempat mengunjungi Msueum Ghibli di Jepang mengungkapkan begitu banyak instalasi yang bisa ia lihat di Jakarta ketimbang di Museum aslinya.
Meski di Jepang, bangunan museumnya sudah khas dengan bentuk dan warna yang ada. Banyaknya instalasi berbentuk tiga dimensi menurutnya jadi nilai jual lebih membuat harga tiket yang sebetulnya cukup mahal bisa terbayar dengan apa yang bisa dilihat langsung para pengunjung. “Semoga kalau nanti semuanya sudah rampung suasana yang bisa dinikmati tak seperti hanya ada di area untuk keliling melihat instalasi. Tapi bisa merasa beanr-benar ada di dunia Ghibli,” ujarnya sembari tersenyum.
Penyanyi Sherina Munaf yang juga penggemar dari karya-karya Studio Ghibli mengungkapkan kebanggaannya bisa melihat pameran terbesar Studio Ghibli di negaranya sendiri. Sherina mengaku banyak terinspirasi untuk berkarya terutama lewat lagu-lagu yang menjadi latar musik film animasi Ghibli. "Saya harap yang lain juga bisa dapat inspirasi dari setiap kaakter dan film khas Ghibli," ujarnya.
AISHA SHAIDRA