Seniman Makassar Siap Terjun di Jakarta Biennale 2015
Editor
Kodrat setiawan
Minggu, 21 Juni 2015 04:19 WIB
TEMPO.CO , Makassar:Sebanyak tiga orang dan satu kelompok seniman asal Makassar akan ikut meramaikan Jakarta Biennale 2015, yakni Firman Djamil, M. Cora, Reza Enem, dan komunitas Quiqui pimpinan Fitriani A.Dalay. Mereka berada di antara 40 seniman lokal dan 30 seniman internasional yang akan terlibat dalam pameran dan festival dua tahunan di Ibu Kota yang rencananya akan digelar pada 15 November 2015–17 Januari 2016 mendatang.
Para seniman yang terlibat dalam Jakarta Biennale 2015 itu diseleksi oleh Charles Esche, penulis dan kurator seni rupa kelahiran Inggris. Charles yang menjadi Direktur Van Abbemuseum di Eindhoven, Belanda, sejak 2004, itu berkolaborasi dengan tim kurator muda dari Indonesia, yaitu Anwar Jimpe Rachman (Makassar), Asep Topan (Jakarta), Benny Wicaksono (Surabaya), Irma Chantily (Jakarta), Putra Hidayatullah (Banda Aceh), dan Riksa Afiaty (Jakarta).
“Mereka yang akan dilibatkan bukanlah seniman yang hanya ada di dalam ruangan terus-menerus,” kata Anwar Jimpe dalam jumpa pers Jakarta Biennale 2015 di Kedai Pojok Adhyaksa Makassar, Senin lalu. Menurut dia, seorang seniman harus tahu persoalan-persoalan di sekitarnya, dan empat seniman yang terpilih tersebut dinilai memenuhi kriteria tersebut.
Fitriani A. Dalay mengatakan komunitas Quiqui akan memperkenalkan karya tahunannya yang berupa bom benang pada Jakarta Biennale nanti. Karya yang rutin dikerjakan tiap tahun tapi kali ini di lokasi yang berbeda, dengan budaya dan partner yang berbeda pula. Rencananya, lokasi pengerjaannya adalah Penjaringan, Jakarta Utara.
“Kami akan mengajak warga dan beberapa komunitas yang kurang lebih memiliki cara kerja dan visi-misi sama dengan kami,” kata Fitriani, sambil menambahkan adanya tantangan baru pula di Jakarta nanti, yaitu membuat bom benang dari bahan daur ulang.
<!--more-->
Sementara itu, Reza Enem, seorang seniman musik dan anggota grup musik independen Makassar—Theory of Discoustic—mengatakan akan membuat instalasi dan mengerjakan seni suara. Adapun perupa Firman Djamil dan arsitek M. Cora telah membidik lokasi di tepian Sungai Ciliwung untuk karya-karyanya nanti.
“Jakarta Biennale tahun ini sudah meninggalkan seni dekorasi. Tapi bagaimana seni diciptakan bisa mengedukasi lingkungannya,” kata Firman sambil menekankan, “Yang diharapkan adalah pendidikannya.”
Cora menyetujui pernyataan itu dengan memaparkan rencananya untuk mendesain ulang permukiman di tepi Kali Ciliwung. Cora bersama komunitasnya, Arsitek Komunitas Makassar, selama ini telah mengerjakan penataan beberapa kampung di Kota Makassar, seperti Kampung Pisang di Kelurahan Maccini Sombala, Kecamatan Tamalate, serta kampung nelayan di Sengkabatu, Buloa, dan Mangarabombang.
Cora telah merancang, pertama-tama, akan berdialog dengan warga setempat untuk mengetahui kondisi dan harapan mereka. Bukan cuma rumah, dia berencana pula menata balai warga, kebutuhan sanitasi, tempat bermain, pasar, sampai penanganan bencana di tengah permukiman itu. “Warga harus terlibat, karena mereka yang tahu persis kondisi kampung dan mereka juga yang akan menjaga keberlanjutannya,” kata pemuda kelahiran Makassar, 11 Februari 1983, ini.
Jimpe menegaskan, setiap karya butuh proses kreatif yang panjang. Dia sendiri mengaku belajar dari Firman tentang bagaimana seni mengerjakan sesuatu. Firman dinilainya bergiat membuat karya seni instalasi dengan bahan-bahan dari alam yang bisa hancur dan tidak meninggalkan sampah.
Jimpe sendiri memiliki mimpi mengusung seni tanpa kanvas. Harapannya, bisa menjadi rujukan baru dan karya yang dihasilkan betul-betul mampu menghidupkan wacananya. “Kami ingin menghadirkan model baru perkembangan seni rupa di Makassar,” kata dia, sambil menambahkan, “Seorang seniman tidak mesti menjadi seniman yang selama ini kita pahami.”
REZKI ALVIONITASARI | IRMAWATI