TEMPO.CO , Makassar: Hasrullah mengungkit kembali sebagian dari pengalaman pahit yang dialaminya empat tahun lalu. Pada Maret, rumahnya habis dilahap api. Itu bukan kebakaran biasa karena kelalaian ataupun korsleting listrik. Rumah Hasrullah hangus karena dibakar oleh beberapa orang. “Tak usah saya cerita siapa pelakunya. Yang terpenting, saya tahu orang-orang yang terlibat,” kata Hasrullah.
Pengalaman itulah yang dipilih Hasrullah untuk dibagi dalam acara “Temu 100 Penulis Makassar”, yang digelar di Gedung Training Center, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, oleh mahasiswa Jurusan Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Alauddin Makassar, Sabtu pekan lalu. “Itulah konsekuensi dari menjadi penulis,” kata akademikus Universitas Hasanuddin ini.
Ceritanya memang tidak utuh, tapi trauma bisa tergambar jelas. Hasrullah mengaku saat itu ia baru saja mengkritik pemerintah. Tapi pembakaran dan kehilangan rumah tak lalu memutus hasratnya untuk tetap menulis.
Hasrullah mengatakan mulai senang menulis sejak 1983. Diawali dengan coba-coba mengirim artikel ke media lokal, saat ini, dia mengungkapkan, “Saya punya 400 tulisan yang telah diterbitkan, mulai dari media lokal hingga nasional.”
<!--more-->
Hasrullah mengaku bisa menyampaikan banyak hal lewat karya tulisnya. Total sudah tiga buku kumpulan tulisannya yang telah diterbitkan. “Menulis itu ibadah. Dimulai dengan bismillah,” ucapnya.
Pengalaman yang dibagi Rusdin Tompo, penulis buku puisi Tuhan Tak Sedang Iseng, berbeda. Rusdin mengungkapkan bahwa awalnya ia bercita-cita menjadi seniman. Adapun kebiasaan menulis telah ia mulai sejak duduk di bangku kelas IV sekolah dasar. Saat itu, Rusdin mengisahkan ia sudah kerap membahas tentang sastra bersama temannya. “Coba pikir, anak SD diskusi tentang sastra,” kata Rusdin.
Kini, tulisannya beragam, termasuk puisi. Namun belum semua karyanya dipublikasikan. “Terutama puisi cinta, koleksinya cukup banyak,” ujar Rusdin, diikuti gelak tawa dari peserta yang hadir pada siang itu.
Anil Hukma, seorang penulis perempuan, ikut berbagi cerita. Mantan Pemimpin Redaksi Mimbar Inspirasi ini memiliki pangkal pengalaman menulis saat duduk di bangku SMP. Kebiasaan menulis lahir setelah dia gemar membaca. “Karena suka sekali membaca, saya sampai diberikan kunci perpustakaan sekolah,” katanya.
<!--more-->
Anil beranggapan laki-laki itu setara dengan perempuan secara intelektual. Menurut dia, laki-laki tak memiliki keistimewaan lebih dalam hal menulis. “Sama saja dengan perempuan,” kata penulis yang telah menerbitkan antologi puisi Rindu Laut ini.
Bahkan ketika berkeluarga pun seorang perempuan bisa tetap menulis. Anil meyakinkan itu berdasarkan pengalamannya sendiri. “Asal memiliki manajemen waktu yang baik,” katanya.
Risma Niswaty, mantan komisioner di Komisi Pemilihan Umum Gowa, menawarkan cerita dari sudut pandang istri seorang penulis. Risma mengaku bahwa dirinya bukan seorang penulis tulen. Dia menawarkan pengalamannya hidup bersanding dengan seorang penulis, yakni almarhum Ahyar Anwar. “Kak Ahyar dulu kalau sudah masuk dalam kamarnya, dan pintunya tertutup, maka tidak boleh ada yang masuk. Siapa pun dia,” katanya.
Pengalaman penulis muda didapat dari Wawan Kurniawan, mahasiswa Psikologi Universitas Negeri Makassar. Wawan berkata, dengan menulis, ia mencoba mencari jati diri yang sesungguhnya. “Saya mampu mendengar dan menegur diri sendiri dengan menulis,” ucapnya.
Wawan mengatakan dirinya bisa menceritakan masa lalu dan masa depan lewat tulisan. Menulis, bagi dia, adalah sebuah kebahagiaan. “Saya merasa tidak pernah menemukan alasan untuk berhenti menulis,” katanya sambil menambahkan, “Sebab, menulis hari ini akan menjadi penanda saya untuk masa depan, sekaligus mengoreksi tentang apa yang telah saya lakukan.”
SUTRISNO ZULKIFLI
Berita lain:
Landasan Pacu Susi Air Diduga Tak Berizin
Izin Landasan Pacu Susi Air Dipersoalkan
Kapolri: Arsad Ditahan Bukan karena Hina Jokowi