TEMPO.CO , Makassar: Lelaki tua memanjat miniatur bagang—rumah apung di perairan—yang terletak di tengah panggung. Bersama tiga rekannya, lelaki berusia 75 tahun ini menenteng benda “pusaka” kesayangannya, sebuah ganrang (gendang).
Minggu malam lalu, di tengah-tengah Fort Rotterdam, Daeng Serang Dakko menunjukkan kepiawaiannya menabuh gendang. Di hadapannya, seorang lelaki yang mengenakan topi putih tampak menunggu aba-aba dari sang maestro gendang untuk menyampaikan tutur-tutur sastra. Kala gendang ditabuh, Chaeruddin Hakim—lelaki bertopi putih itu—menyambar secarik kertas, lalu membacakan puisi berjudul Makassar Negeri Adat.
Kolaborasi musik gendang ala Daeng Serang dan bait-bait puisi berbahasa Makassar mampu membangkitkan antusiasme para penonton. Pertunjukan sastra tutur oleh kedua seniman Makassar tersebut merupakan satu rangkaian acara pada malam penutupan Sastra Kepulauan VIII 2014.
Beratapkan langit, seratusan orang dari berbagai kalangan menyambangi Fort Rotterdam demi menyaksikan ujung rangkaian acara pertemuan sastrawan, seniman, dan budayawan dari berbagai pulau ini. Semua orang tampak larut menikmati malam pertunjukan apresiasi kesenian yang digagas oleh Forum Sastra Kepulauan bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Selatan itu.
<!--more-->
Acara yang bertajuk Jembatan, Kenangan, Memori Komunitas ini juga menampilkan pertunjukan musik. Komunitas Penyanyi Jalanan (KPJ) turut mengisi panggung. Sebelum pertunjukan, mereka sempat mengenang pementasan di tempat yang merupakan cagar budaya tersebut. “Terakhir kami mentas sekitar tahun 1990-an. Malam ini merupakan malam spesial bagi kami,” kata seorang personelnya.
KJP menyanyikan tiga lagu, satu di antaranya karya fenomenal Asia Ramli Prapanca, Jati Cinta. Tak ingin ketinggalan momen, alunan musik yang masih dimainkan oleh KPJ, langsung disambar Ram—sapaan akrab Asia. Tanpa sorotan lampu, Ram muncul dari belakang seolah membelah penonton, sambil membacakan karyanya.
Ram tampil ekspresif pada malam itu. Dia membentangkan tubuhnya di atas panggung. Sesekali ia berlari ke arah penonton sambil membacakan puisi yang diiringi musik. Tepuk tangan meriah menggiring mereka turun dari panggung. “Mereka merupakan seniman jalanan yang tidak pernah berhenti untuk berkarya,” ucap Ram.
Teater kampus Universitas Negeri Makassar turut berkontribusi. Mereka mementaskan teater pendek berjudul The Eyes of Marege—naskah yang sama dan pernah dipersembahkan di tempat yang sama dalam perhelatan ulang tahun kelompok teater ini yang ke-33. Sekalipun mengulang, para pemainnya tetap tampak telaten dalam beradu akting di atas panggung.
<!--more-->
Tak kalah heboh, Komunitas Sapi Berbunyi yang mengusung konsep teater legislatif menampilkan Asdar Muis R.M.S. Asdar tak mengenakan busana, hanya kain putih yang membalut separuh tubuh bagian bawah. Penonton tak henti-hentinya mendapat kejutan dari pertunjukan Asdar. Sebelum turun dari panggung, Asdar membagikan puluhan bukunya yang berjudul Tuhan Masih Berpidato dan Eksekusi Menjelang Subuh. Pertunjukan ini menjadi pementasan terakhirnya.
Pada akhir acara, para peserta ikut menyumbangkan karya sastra sebagai bentuk apresiasi terakhir, sebelum acara resmi ditutup. Ram, selaku Koordinator Sastra Kepulauan, menilai rangkaian kegiatan itu mampu menunjukkan bahwa karya sastra, seni, dan segala jenis pertunjukan masih mendapat tempat di kalangan masyarakat.
“Masih banyak orang yang ingin terlibat dalam acara ini. Tidak hanya sastrawan, budayawan, atau pekerja seni, partisipasi masyarakat dalam mengikuti rangkaian acara ini merupakan bukti nyata,” katanya sambil menambahkan. “Sampai jumpa di Sastra Kepulauan berikutnya.”
SUTRISNO ZULKIFLI
Berita lain:
Koalisi Pro-Jokowi Bentuk Pimpinan DPR Tandingan
Cerita Menteri Susi Nge-Trail di Aceh
Menteri Yohana, dari Papua Hanya Bawa 3 Baju