Dari Sepotong Sejarah yang Kelam  

Reporter

Editor

Sabtu, 29 Januari 2011 12:56 WIB

2 or 3 things I Know about Him
TEMPO Interaktif, Jakarta - “Saya mencari informasi dari cerita kawan satu sel ayah waktu di penjara dulu. Katanya, ayah dan beberapa orang lainnya dibawa ke sebuah hutan di bawah pohon kelapa, lalu tiba-tiba ada bunyi berondongan senjata. Kata tentara, mereka lagi bunuh monyet-monyet”.

Wajah tua Sri Muhayati tampak tegar meski dari sorot matanya tersirat kegalauan hatinya. Pada 2000, hanya bersumber pada pohon kelapa besar yang tumbuh di tengah hutan di kawasan Wonosobo, Jawa Tengah, Sri meminta bantuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk melacak kuburan ayahnya bernama Muhadi.

Ayahnya, menurut kabar yang beredar, diduga sebagai salah satu pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI), yang dibunuh massal pada 1965. Sri tentunya tak berharap banyak dapat menemukan tulang-belulang jasad ayahnya secara utuh. “Ketemu secuil saja saya sudah bahagia,” ujarnya lirih.

Advertising
Advertising

Kegigihan Sri itu terekam dalam sebuah film dokumenter berjudul Mass Grave, Digging Up The Cruelties (An Indonesia's Forgotten Barbarism). Film berdurasi 26 menit karya Lexy Junior Rambadetta itu diputar di Gothe-Institut Jakarta oleh In-Docs, lembaga nirlaba yang aktif dalam pengembangan film dokumenter di Indonesia, pada Selasa petang lalu.

Mass Grave, yang dibuat pada 2001, memperlihatkan peristiwa pemakamam kembali puluhan korban pembunuhan massal sepanjang 1965. Ketika kuburan massal itu dibongkar, tim forensik menduga ada sebanyak 21 orang yang mati ditembak. Di lokasi itu ditemukan potongan peluru, lencana, dan cincin

Dalam film dikisahkan, tujuan penggalian itu dilakukan oleh keluarga agar jasad para korban dapat dikebumikan dengan layak. Namun, ternyata niat itu mendapat hambatan keras dalam pelaksanaannya. Warga setempat terang-terangan menolak keras. Sejumlah spanduk yang menolak sisa-sisa jasad itu digali dibentangkan di sana. “Karena ini bukan daerah PKI,” kata seorang pejabat berpakaian batik pada Sri.

Meski berdurasi pendek, Mass Grave tampil padat dengan banyak narasumber, seperti Sastrawan Pramoedya Ananta Toer, Sosiolog Arif Budiman, Mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, dan Sulami – seorang nenek salah satu korban yang masih hidup dan pernah dihukum 20 tahun penjara oleh rezim Soeharto. “Saya pikir tak akan pernah hidup lagi. Dan sekarang saya hidup, ini kesempatan membongkar kejahatan yang tidak ada tangannya ini,” tutur Sulami seraya menangis.

Semasa hidup, almarhum Gus Dur yang pernah mengajak masyarakat melupakan luka lama tentang PKI pun ditentang habis. “Sejarah kita ini gelap. Kesalahan politik oleh Orde Baru dilimpahkan sepenuhnya pada PKI,” ujar Gus Dur.

Sastrawan Pramoedya Ananta Toer, yang juga kena imbas gempa politik 1965, menilai bahwa pembunuhan itu sebagai yang terbesar di abad ini. “Orde Baru dibangun bekerjasama dengan negara lain dan sayap Angkatan Darat, yakni Soeharto. Agar mudah untuk memerintah adalah membunuh,” kata Pram dalam film tersebut.

Selain Mass Grave karya sutradara Indonesia, dalam acara screenDocs Reguler itu juga diputar film dokumenter arahan sutrdara Jerman Malte Ludin. Bertajuk 2 or 3 things I Know about Him, film berdurasi 85 menit itu berkisah tentang perasaan keluarga anggota Nazi, Hanns Elard Ludin. Dalam sejarah Nazi, Ludin dikenal sebagai pejabat militer yang setia pada pemimpin tertinggi Nazi: Adolf Hitler. Ia juga yang membuat skenario pembantaian orang-orang Yahudi dan keturunannya, yang disekap di ruang gas beracun.

Yang menarik, sutradara pembuat film ini, Malte Ludin, adalah anak kandung Hans Elard Ludin. Ia mewawancarai seluruh saudara kandungnya tentang perasaan mereka menghadapi kenyataan bahwa sang ayah adalah seorang Nazi yang keji. “Saya membuat film ini setelah ibu saya meninggal. Kalau tidak saya tidak berani,” ujarnya.

Selain mewawancarai, sutradara Ludin juga membeberkan surat-surat rahasia negara kala itu, perihal tugas pembantaian dan surat putusan pengadilan terhadap hukuman gantung yang dijatuhkan pada ayahnya sendiri.

Usai kematian Ludin, persemayamannya memang tidak pernah dipublikasikan. Namun, dalam film ini diperlihatkan di sebuah pemakaman usang Bratislava, Slovakia, bersemayam seonggok makam bernisan sebatang kayu, di bawah salib tertulis inisal H.E.L.

Dalam diskusi singkat seusai pemutaran film, sastrawan dan mantan tahanan politik, Putu Oka, menilai bahwa kedua negara ini memang memiliki sejarah yang sama-sama kelam. “Bedanya, permasalahan Nazi telah usai, namun persoalan yang ditinggalkan Orde Baru belum kelar,” katanya. “Negeri ini belum jernih melihat sejarah.”

Menurut Oka, dokumentasi juga menjadi kendala penuntasan masalah ini. “Di Jerman, tiap orang punya dokumentasi sendiri, yang menjadi jejak mereka, di Indonesia tidak. Bahkan hingga kini penjara Bukit Duri saja fotonya tidak ada,” ujarnya.

AGUSLIA HIDAYAH

Berita terkait

Mira W Puas Dengan Arini Besutan Ismail Basbeth

4 April 2018

Mira W Puas Dengan Arini Besutan Ismail Basbeth

Film Arini mampu menerjemahkan kisah dalam novel dengan baik dalam konteks kekinian

Baca Selengkapnya

Film Indonesia Diputar di Busan International Film Festival 2017

17 Oktober 2017

Film Indonesia Diputar di Busan International Film Festival 2017

Film Ismail Basbeth ini diputar perdana pada A Window on Asian Cinema. Memperkenalkan film-film pilihan dari Most Talented Asian Filmmaker of The Year

Baca Selengkapnya

Garap Film Posesif, Sutradara Edwin: Tak Korbankan Idealisme

13 Oktober 2017

Garap Film Posesif, Sutradara Edwin: Tak Korbankan Idealisme

Menggarap film Posesif, menurut Edwin, sama sekali tidak mengorbankan idealismenya sebagai sutradara film selama ini.

Baca Selengkapnya

Star Wars: The Last Jedi, Ungkap Siapa Jedi yang Terakhir

9 Oktober 2017

Star Wars: The Last Jedi, Ungkap Siapa Jedi yang Terakhir

Lucasfilm telah secara resmi mengumumkan bahwa trailer film Star Wars: The Last Jedi akan tayang pada hari Selasa, 10 Oktober 2017.

Baca Selengkapnya

Di Pemutaran Film ini, Pria Kulit Putih Bayar Tiket Lebih Mahal

22 September 2017

Di Pemutaran Film ini, Pria Kulit Putih Bayar Tiket Lebih Mahal

Shiraz Higgins ingin bicara soal adanya ketakadilan
pendapatan antara perempuan dan laki-laki di Kanada

Baca Selengkapnya

Joko Anwar Gandeng Dua Seniman Main Film Pengabdi Setan  

22 September 2017

Joko Anwar Gandeng Dua Seniman Main Film Pengabdi Setan  

Di film Pengabdi Setan, Joko Anwar membutuhkan ada pemain
yang bisa menerjemahkan cerita melalui gestur. Ia melibatkan
dua seniman di Pengabdi Setan

Baca Selengkapnya

Gerbang Neraka, Film Horor Dengan Format Berbeda

15 September 2017

Gerbang Neraka, Film Horor Dengan Format Berbeda

Film Gerbang Neraka digadang sebagai film horor yang dikemas
lain dari gaya film horor sebelumnya

Baca Selengkapnya

Jay Subyakto Didemo Warga Keturunan Wandan Terkait Film Banda

31 Juli 2017

Jay Subyakto Didemo Warga Keturunan Wandan Terkait Film Banda

Ratusan warga mendesak DPRD untuk menunda penayangan film Banda yang disutradari Jay Subyakto.

Baca Selengkapnya

Harry Styles dan Pangeran Harry Ramaikan Premier Film Dunkirk

15 Juli 2017

Harry Styles dan Pangeran Harry Ramaikan Premier Film Dunkirk

Harry Styles mendampingi Pangeran Harry di karpet merah premier film Dunkrik karya Christopher Nolan.

Baca Selengkapnya

Lebanon Akan Boikot Wonder Woman karena Diperankan Aktris Israel

31 Mei 2017

Lebanon Akan Boikot Wonder Woman karena Diperankan Aktris Israel

Aktris Israel, Gal Gadot yang jadi Wonder Woman disebut-sebut menjadi anggota militer Israel.

Baca Selengkapnya