Seperti sang ayah, Anwar pun berusaha menyelami kehidupan masyarakat Bali dengan tinggal di Ubud. Puluhan lukisan yang bertajuk Nyanyian Jiwa menunjukkan kegelisahan jiwanya. "Sebagai seniman, terus merasaalam proses pencarian dalam bayang-bayang kebesaran nama ayahnya," kata Arif B. Prasetyo yang menjadi kurator pameran itu.
Dalam karya-karya itu, bentuk-bentuk abstrak masih gampang ditemukan acuannya pada bagian tubuh manusia seperti wajah, kepala, mata dan telinga. Tetapi pemaknaannya menjadi sangat subyektif karena Anwar menyajikannya sebagai medium ekspresi ketika dia mengahadapi realitas dunia nyata. Ia pun bergerak dalam wilayah misteri dan tanda-tanya mengenai kehidupan yang ada di sekitarnya.
Karya Anwar seperti mengingatkan kredo yang terkenal dan diciptakan oleh ayahnya, yakni prinsip “Tiga Non” . Nashar memperkenalkannya pada 1975 sebagai metode estetik: “Non Konsep, Non Estetik, dan Non Teknik”.
Intuisi dan gairah jauh lebih penting untuk mewujudkan diri. Coretan sketsa ataupun lukisan di atas kanvas selayaknya dinikmati dengan rasa belaka. Ia yang sempat mengajar di Institut Kesenian Jakarta kemudian menerapkan pendekatan itu dalam pengajaran melalui sistem sanggar dimana tidak ada sekat dalam pergaulan antara dosen dan mahasiswa.
Anwar sendiri mengaku tak terlalu mempersoalkan bila karyanya slelau dikaitkan dengan karya Ayahnya. Yang jelas, dia telah melalui prosesnnya sendiri yang menghasilkan keberanian untuk menampilkan karya. Untuk mencapai kemataangan itu, ia pun sempat menekuni dunia teater dengan bergabung di tetar Ketjil milik almarhum Arifin C. Noer dan Teater Populer pimpinan Teguh Karya. “Hidup saya mengalir dalam ekspresi dan pengalaman yang tidak saya rencanakan," ujarnya.
ROFIQI HASAN