Foto keseharian menunjukkan bagaimana fenomena diterima sebagai sesuatu yang bersifat “terberi” atau “sudah begitu dari sananya”. Karena itu, peran penting seorang fotografer masa kini bukanlah memperlihatkan kenyataan kepada orang banyak, melainkan menunjukkan cara pandang yang berbeda terhadap sesuatu yang “terberi” itu.
Pengamatan menarik atas kenyataan itu ditampilkan oleh Agung Nugroho Widhi, seniman muda dari Yogyakarta, dalam pameran tunggalnya, Artificially Natural, yang digelar di Kedai Kebun, Yogyakarta, pada 8–31 Mei ini.
Gagasan tentang “kealamian yang artifisial” ini diperoleh Agung ketika ia mengamati jalan dan ruang-ruang sehari-hari yang menunjukkan fenomena unik dalam masyarakat berkaitan dengan konsep “yang alami” dan “yang artifisial”. Dengan kamera lomo-nya, Agung membidik bagaimana “obyek” alamiah yang artifisial, dibuat oleh manusia dengan bahan-bahan non-alami tersebut, menjadi bagian yang seolah wajar dalam lanskap lingkungan.
Dalam proyek yang ia kerjakan selama dua tahun ini, Gembong—panggilan akrabnya—berkeliling dengan kamera lomo-nya memasuki wilayah-wilayah umum, mencari tanpa terburu. Hasilnya, ia menemukan banyak materi visual yang menarik. Jika kita tidak memperhatikan dengan cukup cermat detail foto karya Gembong, sepintas kita melihat, semua yang disuguhkannya adalah kenyataan alam. Pada beberapa foto, terutama yang berujud taman buatan, apa yang artifisial itu memang sangat dekat dengan kenyataannya.
Ke-13 foto dalam pameran tunggal pertama seniman lulusan Institut Seni Indonesia ini diberi judul Tanpa Judul. Ketimbang berdiri sebagai sebuah foto tunggal, hampir semua karya dalam pameran ini lebih “bunyi” ketika ia bersanding dengan karya lainnya. Hampir seperti esai foto, tapi dengan konsep yang lebih kuat ketimbang sekadar sebagai foto naratif.
Dengan menggunakan kamera lomo, yang punya keterbatasan secara teknik, Gembong justru makin menonjolkan kekuatan konsepnya. Beberapa foto akan terasa terlalu gelap dan terlalu banyak bayangan. Tapi, dengan konsep yang diusungnya, penghadapan antara yang alami dan yang artifisial, penggunaan teknik yang tak terlalu sempurna ini justru menjadi bagian dari strategi untuk mengajukan pertanyaan atas peran fotografi itu sendiri.
Kita acap tak awas, lingkungan keseharian yang tampak alami banyak dikonstruksi oleh imajinasi kita sendiri tentang apa yang alami itu. Gembong menampilkan obyek-obyek yang sesungguhnya dengan sangat mudah kita tunjuk dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya pohon-pohon yang dibuat dari semen beton (tapi dibentuk dengan pendekatan yang realistis, diwarnai sesuai dengan batang pohon yang cokelat dan bertekstur tua atau terbelah). Karena terbiasa melihatnya sebagai sesuatu yang biasa, kita cenderung tak bertanya lagi tentang realitas visual alami yang kita lihat.
Karya-karya Gembong, dengan cara tertentu, merupakan bagian dari upaya mempertanyakan realitas itu. Apa yang selama ini kita anggap alami, kemudian hadir dan direproduksi dalam ruang-ruang kota dalam bentuk peniruan, menjadi sesuatu yang artifisial. Pertanyaan yang muncul bisa sederhana, mengapa mereka membentuk gambar atau imaji visual yang cenderung menggambarkan alam secara realis jika materialnya adalah sesuatu yang artifisial? Apa nilai penting dari penggambaran alam di ruang publik kota? Apakah obsesi terhadap yang alami ini memang menjadi sesuatu yang kemudian nyaris “terberi” untuk generasi masa kini?
Tentu saja, sejarah atas obsesi ini bisa dilacak dari model-model lukisan realis bergambar pemandangan, dari era Mooi Indie hingga pasar-pasar Sukowati di Bali. Lukisan pemandangan semacam ini memang menjadi bentuk visual yang paling mudah “dipahami” kebanyakan orang, selain menunjukkan bahwa masyarakat cenderung menyenangi imaji visual yang datang dari kenyataan sehari-hari. Tapi Gembong menyodorkan pertanyaan mendasar berkaitan dengan fenomena ini: lalu apakah realitas itu jika kita mempunyai sesuatu yang nyata, dan memproduksi tiruannya secara artifisial, dalam sebuah lanskap yang sama?
Jika banyak orang bertanya, saya kira pameran Gembong menjadi punya nilainya sendiri yang berharga. Kesederhanaan citra, pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu, dan kepercayaan pada fokus yang dipilih membuat pameran Gembong ini menyentil pertanyaan konseptual tentang fotografi pada diri saya secara personal. Dengan caranya sendiri bercerita, Gembong memampatkan waktu. Gembong lebih banyak bermain dengan ruang, dan sedikit bercakap dengan waktu. Lain kali, mungkin waktulah yang perlu lebih banyak diketuk pintunya.
ALIA SWASTIKA