Pengunjung memotret togkat asli Pangeran Diponegoro dalam pembukaan pameran Aku Diponegoro : Sang Pangeran dalam Ingatan, dari Raden Saleh hingga Kini di Galeri Nasional, Jakarta, 5 Februari 2015. ANTARA FOTO
TEMPO.CO, Jakarta - Keturunan Jean Chretian Baud Baud, Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Jawa Tengah (1833-1834), menyerahkan tongkat ziarah Pangeran Diponegoro ke pemerintah Indonesia. Sebelum akhirnya diserahkan, tongkat itu nyaris dijual oleh keluarga ini.
Erica Baud, salah satu keturunan JC Baud yang menyerahkan tongkat ziarah itu menceritakan proses 'penemuan' dan pengembalian tongkat bernama Kyai Cokro itu. Seorang kurator Museum Rijksmuseum menemukan tongkat itu dari penelitian arsip-arsip lama. Dia juga yang menemukan semacam surat keterangan tentang tongkat itu. Setelah mengetahui kemungkinan benda tersebut adalah milik Diponegoro, keluarga Baud menyerahkan tongkat itu untuk diteliti lebih lanjut. Dan dipastikan tongkat itu milik Diponegoro.
“Beberapa orang berpikir bisa menjualnya tetapi kemudian kami sepakat dengan ide yang lebih baik untuk diberikan ke Museum di Indonesia,” ujar Erica melalui surat elektroniknya kepada Tempo, Senin malam,23 Februari 2015.
Keluarga Baud memilih mengembalikan ke Indonesia karena mereka percaya di sana tempat yang tepat untuk barang tersebut. “Kami memilih Museum Nasional karena kami pikir bisa dipamerkan bersama objek lain benda-benda miliki Diponegoro,” ujarnya lagi.
Terbuat dari besi sepanjang 153 sentimeter dengan cakram pelindung berbentuk bulat, cakra, yang dalam mitologi Jawa cakra adalah senjata dewa Wisnu. Peter Carey, sejarawan Inggris, mengatakan hal ini cukup penting karena dikaitkan dengan kedatangan Ratu Adil atau Erucokro.
Menurut Erica, keluarga mereka tidak secara resmi menempatkan tongkat itu dalam sebuah lemari pajang. Tetapi memang diletakkan secara hati-hati di tempat rumah orang tuanya. Ketika orang tuanya pindah ke panti jompo Erica lalu membawa tongkat tersebut. “Saya menyukainya, tapi saya tidak tahu itu benda apa,” ujar Erica.
Belanda merampas tongkat yang sering dipakai berziarah Diponegoro. Pangeran yang besar di Tegalrejo ini memulai ziarah ke berbagai tempat leluhurnya, terutama saat napak tilas Sultan Agung dan menyepi di gua-gua pantai Selatan sejak 1805. Tongkat ini yang berasal dari Kerajaan Demak pada abad 16 ini diberikan 1815.
Tongkat itu awalnya juga dirampas Belanda saat penyergapan Diponegoro di daerah Gowong. Tongkat lalu jatuh ke tangan cucu komandan perempuan pasukan Diponegoro, Nyi Ageng Serang, yakni Pangeran Adipati Notoprojo. Dia dikenal sebagai sekutu politik bagi Hindia Belanda. Dia pula yang membujuk Ali Basah Sentot Prawirodirjo untuk menyerahkan diri pada Belanda pada 16 Oktober 1829. Adipati Notoprojolah yang menyerahkan Kyai Cokro kepada JC Baud. Tongkat itu diserahkan pada Juli 1834, saat melakukan inspeksi pertama di Jawa Tengah.
Pemerintah Belanda mengembalikan tombak Kyai Rondhan dan pelana kuda pada 1978 lalu atas inisiatif Ratu Juliana. Sebelum dipamerkan di Galeri Nasional, kedua benda ini disimpan di Museum Nasional. Tongkat ini kini bersama dua jimat Diponegoro lainnya yakni Tombak Kyai Rondhan, pelana kuda. Sayangnya jubah Sang Pameran tidak ikut dipamerkan di Galeri Nasional.