TEMPO.CO, Jakarta -Seni lukis kaca saat ini mungkin bukan seni yang banyak diminati masyarakat. Tetapi pada akhir abad ke-18 sampai ke-19, karya ini merupakan karya seni yang populer. Tak hanya dimiliki oleh orang kaya dan kalangan ningrat saja, masyarakat kebanyakan pun banyak memilikinya. Peneliti Prancis Jerome Samuel memaparkan penelitiannya selama belasan tahun tentang karya ini.
“Ini karya yang populer, semua kalangan memilikinya. Memang tergantung ukurannya,” ujar Samuel saat memaparkan penelitiannya di auditorium Institut Prancis di Indonesia (IFI), Rabu, 12 April 2017. Dia memaparkan penelitian tentang karya lukis kaca ini dari diskusi yang digelar IFI bekerja sama dengan Lembaa Prancis untuk Kajian Asia Tenggara (EFEO).
Untuk kalangan bangsawan, terpelajar atau orang kaya biasanya memilih lukisan dalam ukuran yang besar. Sedangkan rakyat jelata biasanya memilih dalam ukuran yang kecil. Rakyat Jawa, khususnya di sekitar Solo- Yogyakarta datang ke kota itu untuk membeli lukisan kaca itu. “Harganya terjangkau untuk masyarakat saat itu, ada data harga berapa sen atau gulden,” ujarnya. Samuel juga menjelaskan pengumuman di sebuah koran yang menemukan tulisan lukisan kaca yang ketinggalan di gerbong dan dilelang.
Direktur Pusat Studi Asia Tenggara di Prancis (CNRS-EHES-INALCO) ini menjelaskan pada abad 18-20, diperkirakan jumlahnya mencapai jutaan keping. Dia mengasumsikan dari jumlah penduduk saat itu dari data sensus Belanda. Lukisan kaca ini diperkenalkan oleh para pelukis Eropa dan Cina. Di nusantara kemudian dikembangkan dengan corak dan tema lokal dan percampuran budaya seperti Jawa, Eropa, Cina dan Muslim. Mereka memajang lukisan itu sebagai simbol status, tolak bala dan hiasan.
Ia mengakui penelitian tentang lukisan kaca ini baik di Eropa maupun di Indonesia masih sangat sedikit. Data awal tentang lukisan kaca ini diperoleh dari log book penjelajah Jerman yang menulis tentang Sultan Sumenep yang mempunyai hobi melukis kaca pada 1850. Penelitian pertama dilakukan oleh Hooykas –van Leeuwen Boomkamp, pada 1930 yang menggambarkan situasi kerajinan lukisan kaca di Yogyakarta saat itu. Data berikutnya banyak dijelaskan oleh peneliti Jepang yang dipimpin Seichi Sasaki pada 1980.
Lalu diteruskan dari penelitian Eddy Hadi Waluyo tentang revitalisasi lukisan kaca di Yogyakarta, Solo, Cirebon dan Buleleng Bali untuk periode 1980-2000. Ia mendapatkan foto-foto lukisan kaca dan lukisan lalu mengkategorikannya berdasar tema lukisan. Cukup menarik melihat keragaman tema-tema lukisan kaca ini. Lebih dari 90 persen data yang dikumpulkan, kata dia, karya tersebut tidak bertanggal dan anonim.
Lukisan kaca karya Hadi Koco
Tema yang ditemui mulai dari tema lukisan masjid, wayang, gambar tolak bala, sejarah Belanda (seperti gambar pembunuhan Kapten Tack dan Untung Suropati yang dilarang dibuat dan diperjualbelikan oleh Belanda), budaya Jawa,gambar kraton, lukisan pengantin, dagelan, gambar putrid Cina (Putri Campa), kaligrafi Cina. Tetapi ada pula yang cukup menarik ketika ditemukan lukisan kaca sebagai ikon modernitas dengan gambar kapal Perang Turki zaman Ataturk-Ottoman. “Yang lukisan kapal ini ada di Cirebon, ada catatan promosi pada 1925-1930,” ujarnya.
Lukisan kaca ini di Jawa terpusat di Solo, Yogyakarta dan Cirebon. Di luar Jawa, kata Samuel, juga ditemukan di Bali. Ada pula lukisan kaca di Minang dan Bengkulu. Kebanyakan temanya dongeng lokal, kaligrafi, masjid dan bunga.
Karya lukisan kaca ini perlahan-lahan mulai surut. Apalagi setelah muncul seni dengan medium lain seperti kanvas dan fotografi. “Ya selera orang berubah, yang kalangan bangsawan, kaya bisa mengakses fotografi.”
Dia menyebut periode 1940-an merupakan titik penting seni lukis kaca ini karena terdapat tema mendasar pada era penjajahan Jepang dan pasca kemerdekaan. Dia mencontohkan tema lukisan masjid pada 1918-an populer gambar masjid Demak, tetapi pasca kemerdekaan yang populer adalah masjid Syuhada .
Pada 1960-an masih banyak ditemukan lukisan bergambar wayang, masji dan pengantin ditemukan di rumah-rumah warga kebanyakan. Pada 1970-an, karya ini juga mencapai kejayaannya pasca kemerdekaan lalu perlahan meredup kembali. Hingga kemudian Pemerintah Daerah Cirebon kembali menggalakkan karya lukis ini sebagai upaya revitalisasi dan ikon daerah.
DIAN YULIASTUTI