TEMPO.CO, Bali - Patung dwimuka itu mirip kepala suku Apache, Indian, di Amerika Selatan. Tapi warna-warna mencolok di wajahnya menghadirkan aroma yang jauh dari kegarangan. Bibirnya yang tebal dengan hiasan ala wayang topeng menambah keunikan karya Luigi Ontani yang berkolaborasi dengan seniman Bali, Made Lopang.
Patung tersebut kini dipamerkan di Rumah Topeng dan Wayang Setiadarma, Ubud, hingga 8 April 2015, bersama puluhan karya Ontani yang lain. Seniman asal Italia itu menyebut karya-karyanya itu mewakili gagasan akan kehidupan lengkap dengan kontradiksi yang mewarnainya. “Dengan humor, kasih, dan cinta kepada seni,” kata dia seperti tertulis dalam pengantar pameran. Baginya seni merupakan penjelajahan ketinggian hati sebagai bentuk keegoistisan dan keengganan akan eksistensi. “Perjuangan demi tempat lain, keterasingan yang hanya bisa diberikan oleh seni,” ujar dia.
Difasilitasi lembaga Kayu–Lucie Fontaine, Ontani sempat tinggal di Ubud. Ia bergaul dan bertukar pikiran maupun pengalaman dengan sejumlah pematung Bali. Selain patung, dia membuat wayang. Ia selalu menghasilkan semacam lukisan yang menjadi desain dari karya patungnya.
Pameran Luigi diberi tajuk “IdeTriBali”, yang merupakan suatu portmanteau. Itu adalah kombinasi dua kata atau lebih atau kombinasi bunyi-kata (morfem) dan arti kata menjadi satu kata baru. Mengikuti asas boneka Matryoshka—juga dikenal sebagai boneka lapis Rusia—portmanteau adalah kata gabungan yang menambahkan makna pada makna.
“IdeTriBali” tersusun atas empat kata: ide, ideal, tribal, dan Bali. Judul “IdeTriBali” menekankan intensitas jiwa dan raga, dan karena itu, “tribal”—kolaborasi yang dilakukan sang seniman dengan masyarakat lokal Bali. Penggunaan kata portmanteau dalam praktek seni Ontani menegaskan pentingnya judul karyanya. Judul bukan sekadar permainan kata-kata, tapi juga untuk menanggapi dan menyesuaikan akan kebutuhan rupa hibrida, yang menyoroti bagian penting dari riset Ontani.
Sejak akhir dekade 1960-an, Ontani telah menggeluti konsep tentang keadaan hibrida dan keadaan altrove (berada di tempat lain). Riset Ontani tentang estetika hibrida melibatkan puitika tubuh, yang ditafsirkan sebagai tubuh-sebagai-gandaan, tubuh-sebagai-topeng, mitos tubuh, bahasa tubuh serta waktu tubuh.
Dalam karyanya, Ontani terus-menerus mengubah identitas, memberikan nyawa kepada sosok-sosok kontroversial dan ambigu. Kadang-kadang dengan nada ironis atau nada vulgar samar-samar. Transformasi tubuh Ontani ditunjang oleh penggunaan topeng. Bagi seniman ini, topeng adalah lambang dan metafora, obyek yang “tidak sepenuhnya menutupi; mengusung simbol lain yang tidak dapat diungkapkan indera kita.”
Topeng bagi Ontani adalah alat utama untuk penjelajahan cerdas dan segar terhadap hal-hal yang berada di luar kepribadiannya sendiri. Minat Ontani terhadap topeng dimulai pada dekade 1970-an. Saat itu ia tertarik terhadap Commedia dell’arte dan tokoh-tokohnya. Pada awal dekade 1980-an, risetnya tentang topeng mengantarkannya bepergian ke seluruh dunia. Penjelajahannya itu membuat dia mengidentifikasikan dirinya dengan ekspresi budaya di Tyrol, Lecce, Venesia, Faenza, Vietri, Burkina Faso, Mali, Meksiko, New Mexico, Guatemala, Jepang, Yaman, Nepal, India, Sri Lanka, Kampuchea, Indonesia, dan Bali.
Di Bali, seniman ini berkolaborasi dengan sejumlah perajin lokal cemerlang—Ida Bagus Anom, I Wayan Tangguh, dan putranya, Sukarya, serta Made Lopang—yang membuatkan topeng-topeng dari kayu pule untuknya sejak 1981. Minat Ontani terhadap budaya Bali memberi dia kemungkinan untuk mencampur praktek artistik pribadinya dengan tradisi seni Bali.
Pengelola rumah topeng, Prayitno, mengatakan pameran ini memberi ruang dialog yang kreatif antara seniman Italia itu dan seniman bali. “Topeng bukan hanya soal tradisi tapi juga medium ekspresi untuk merespon dunia masa kini,” ujar dia. Bagi seniman Bali sendiri, konsep multitafsir atas sebuah fenomena bukanlah hal yang baru, seperti terungkap dalam ajaran “Rwa Bhinneda”, yang meyakini kepastian adanya dualitas dalam kehidupan.
NUNUY NURHAYATI | ROFIQI HASAN