George Kamarullah, Sinematografer Edan

Reporter

Editor

Rabu, 7 Februari 2007 15:00 WIB

George Kamarullah tak bakal lupa dengan amuk Slamet Rahardjo suatu siang pada 1973. "Cara main inhaler (alat isap untuk melegakan hidung yang mampet) saya saja masih lebih bagus ketimbang kamu," kata George menirukan amarah Memet--begitu panggilan Slamet Rahardjo.Waktu itu, Slamet murka lantaran permainan George yang buruk dalam sebuah latihan sandiwara yang disutradarainya. Pria kelahiran Ternate, 57 tahun silam, ini langsung mutung dan bersumpah: tidak akan lagi berkecimpung di belantara seni peran. Dia pun mundur sebagai aktor.Dari situlah garis nasibnya berbelok, tapi tidak jauh-jauh amat. George menjadi sinematografer. Enam film hasil bidikan kameranya, antara lain Selamat Tinggal Jeanette (1987) dan Taksi (1991), diputar di Kine Forum, Taman Ismail Marzuki, 1-7 Februari 2007, dalam acara bertajuk "Body of Work Sinematografi George Kamarullah". Sebetulnya, dia tidak punya latar belakang pendidikan juru kamera. George muda pernah kuliah di jurusan konstruksi dan administrasi, tapi tak selesai. Dia pernah jadi asisten art and still photography Cinta Pertama (1973). Ini film pertamanya."Baru pada 1976 saya mulai menekuni pengambilan dan penyuntingan gambar," ujar George kepada Tempo. Selama lima tahun, dia menjadi asisten sinematografer dan editor Tantra Suryadi. Ia bertugas memanggul kamera atau mengumpulkan gulungan film yang tidak terpakai lagi.Pada 1980, George dipercaya menjadi editor dalam film Usia 18. Baru pertama kali menyunting, dia langsung menyabet Piala Citra. Adapun film yang dia gawangi pengambilan gambarnya adalah Seputih Hatinya, Semerah Hatinya (1982), yang dibintangi Christine Hakim. Tapi pada 1986, Karyawan Film dan Televisi melarang pengagum Nestor Almendros, sinematografer asal Kuba, itu menekuni dua profesi sekaligus. George pun memilih juru kamera. Dia punya alasan: bayarannya lebih gede. Alasan lain, "Sinematografer itu menciptakan sesuatu."Nama George makin melambung sewaktu menjadi penata kamera pada film Tjoet Njak Dhien (1988). Dia menggondol Piala Citra untuk ketiga kalinya setelah Doea Tanda Mata (1985) dan Ibunda (1986). "Saya juga dapat Golden Crown Award di Seoul lewat Doea Tanda Mata," ujarnya.Sebagai seorang juru kamera, George punya prinsip keras: tidak mau terlibat dalam produksi bila skenarionya jelek dan bintang filmnya tidak disiplin. Artis film juga mesti tunduk dan tetap duduk di lokasi syuting sewaktu George sedang mengatur pencahayaan.George juga dikenal sebagai juru kamera yang edan di zamannya. Dia orang pertama yang memakai teknik pencahayaan bounching dan kertas kalkir misalnya. "Waktu produser tahu, saya langsung dimarahi," kata penata kamera yang banyak berkiblat pada film-film Prancis itu sambil terkekeh.Walther van den Ende, sinematografer asal Belgia, pernah memuji karya-karya George. "Dengan peralatan yang sederhana, dia bisa membikin gambar-gambar yang bagus," ujarnya. Toh, George, yang sekarang bekerja di Metro TV, mengaku belum merasa puas dengan film-film hasil bidikannya.SS KURNIAWAN

Berita terkait

500 Seniman Ramaikan Nuit Blanche di Taiwan

6 Oktober 2018

500 Seniman Ramaikan Nuit Blanche di Taiwan

Berbagai pertunjukan seni seperti musik juga akan ditampilkan di Nuit Blanche Taiwan, termasuk dari para tenaga kerja Indonesia.

Baca Selengkapnya

Komikus Si Juki: Apa pun Bisa Jadi Meme

4 November 2017

Komikus Si Juki: Apa pun Bisa Jadi Meme

Apapun saat ini bisa dijadikan meme. Perbincangan meme kembali hangat setelah penangkapan seorang pembuat meme tentang Ketua DPR Setya Novanto

Baca Selengkapnya

Karya Teguh Ostenrik Akan Hiasi Kalijodo

9 Agustus 2017

Karya Teguh Ostenrik Akan Hiasi Kalijodo

Karya instalasi ini masih dalam proses pembuatan. Karya ini
rencananya dipasang akhir September mendatang.

Baca Selengkapnya

Di Indonesia Seni Video Belum Diserap Pasar Kelas High End

31 Juli 2017

Di Indonesia Seni Video Belum Diserap Pasar Kelas High End

Seni video yang dinilai memiliki perkembangan cukup bagus di Indonesia diharapkan segera mempunyai pasar.

Baca Selengkapnya

Kisah Putu Sunarta, Seniman Ukir Pembuat Gitar Divart dari Bali

18 Juli 2017

Kisah Putu Sunarta, Seniman Ukir Pembuat Gitar Divart dari Bali

Lama menekuni seni ukir, I Putu Sunarta kini dikenal sebagai
pembuat gitar bermerek Divart di Bali.

Baca Selengkapnya

Buku Biografi Pelukis Arie Smit Terbit, Ini Resensinya  

12 Februari 2017

Buku Biografi Pelukis Arie Smit Terbit, Ini Resensinya  

Buku biografi pelukis Arie Smit yang ditulis Agus Dermawan T.
terbit.

Baca Selengkapnya

Otentisitas Sketsa Van Gogh yang Baru Ditemukan, Diragukan

16 November 2016

Otentisitas Sketsa Van Gogh yang Baru Ditemukan, Diragukan

Buku Sketsa The Lost Arles yang baru dirilis internasional disebut memuat 56 sketsa karya maestro lukis Vincent Van Gogh.

Baca Selengkapnya

Gatot Indrajati Sabet UOB Painting of the Year 2016

25 Oktober 2016

Gatot Indrajati Sabet UOB Painting of the Year 2016

Seniman asal Yogyakarta Gatot Indrajati mendapat penghargaan UOB Painting of the Year 2016.

Baca Selengkapnya

Berusia 39 Tahun, Teater Koma Berharap Tetap Koma

25 Februari 2016

Berusia 39 Tahun, Teater Koma Berharap Tetap Koma

Punya pemain dan penonton setia. Tetap harus berjuang menjadi
teater yang disukai masyarakat.

Baca Selengkapnya

Jakarta 'Cekik' Tugu Pancoran, Edhi Sunarso Meratap Kecewa  

5 Januari 2016

Jakarta 'Cekik' Tugu Pancoran, Edhi Sunarso Meratap Kecewa  

Nahas menerpa Monumen Dirgantara di Pancoran. Monumen itu dibangun Edhi Sunarso pada 1970, pada saat kekuasaan Soekarno sudah lemah.

Baca Selengkapnya