TEMPO Interaktif,
Jakarta: Akhirnya rock kembali membahana, rock yang sebenar-benarnya, dan ini terjadi di Hard Rock Cafe Jakarta. Sucker Head, Roxx, dan Edane, tiga band yang telah mengibarkan tinggi-tinggi bendera masing-masing dalam lanskap musik rock di sini, tampil eksplosif dan menaklukkan sebagai headliner acara bertema United We Stand: mereka mengubah total atmosfer restoran yang jaringannya mendunia itu."Kalau hari biasa atau pada event lain adem-adem saja, tenang, sekarang ini jadi terasa lain. Apalagi pas masuk band ketiga, Stupa," kata Santoso Sanz, 29 tahun, karyawan departemen teknologi informasi sebuah perusahaan swasta di Batam yang sengaja ke Jakarta untuk menonton.Pertunjukan pada Rabu lalu itu memang hampir tak terbayangkan. Soalnya, sudah sejak lama restoran yang menyandang nama satu aliran dalam rock yang berkarakter keras dan gaduh itu identik dengan musik Top 40--sangat berbeda dibandingkan dengan saat duet Isaac Tigrett dan Peter Morton mendirikan restoran pertamanya di London pada 1971. Sambil bergurau, seseorang menuliskan kesannya di sebuah forum diskusi maya atau mailing list (milis), yang kemudian beredar ke beberapa milis lain: "Ini sudah benar-benar pelecehan terhadap musik rock melalui malpraktek -- mencatut nama hard rock buat aliran pop."Namun, malam itu, di sanalah enam band rock dari berbagai aliran beraksi. Selain Sucker Head, Roxx, dan Edane, tampil pula Bumblebee, The Jalu, dan Stupa. Sejak acara dimulai sekitar pukul 20.30, dengan pembuka Bumblebee yang berformasi seluruhnya perempuan, mereka menggedor penonton dengan sajian punk, alternatif, hard rock, heavy metal, dan thrash metal yang memekakkan telinga, mendidihkan adrenalin, dan melambungkan gairah. "Ada 700-an orang yang datang, jauh di luar perkiraan kami," kata Andre Solucite, panitia acara.Sebagian besar dari penonton tampak menyerap dan merasakan benar setiap not, setiap hentakan, juga teriakan dari panggung. Seolah ada setrum bervoltase gigantis dari sana. Mereka yang di depan panggung berjingkrak, menghentak-hentakkan kepala (headbanging), berlompatan dan saling mengadu badan (moshing), melompat ke arah penonton (crowd surfing), dan ikut menyanyi. Yang lainnya ada yang sekadar menepuk-nepukkan tangan di pangkuan; serombongan ibu-ibu yang baru selesai bersantap malam dan kelihatannya "salah orbit" juga menjadi sibuk menyimak setiap aksi di panggung. Semua lebur. Semuanya seperti lupa masalah sehari-hari.Penampilan Roxx saat membawakan Rock Bergema, hitnya pada 1980-an, merepresentasikan antusiasme yang membara di dalam gedung: Mereka selalu berkata musik rock memuaskan jiwa/Semua problema di dalam dada/Seakan tak pernah ada.Sambil meninju udara atau mengacungkan-acungkan tiga jari simbol aliran metal, dan di bawah kelebatan lampu strobo, penonton di depan panggung ikut menyanyikan bagian ini: Rock 'n' roll bergema di kesunyian dunia/Rock 'n' roll semua problema tak pernah ada/Rock 'n' roll nyanyikan irama lagu gembira yeahhh....Konser malam menjelang libur panjang akhir pekan itu adalah perayaan inaugurasi i-Rock!, komunitas yang menghimpun penggemar rock dan metal. "Target kami melahirkan i-Rock!, dan menunjukkan bahwa penggemar rock tersebar di segala usia," kata Andre. Acara yang langka, memang. Jauh sebelumnya, begitu infonya resmi beredar, peminat sudah menyatakan tak sabar menunggu. Di milis M-Claro, tempat i-Rock! lahir, obrolan berlangsung tiap hari. Macam-macam topiknya. Suatu saat tentang band-band yang akan tampil, atau impresi terhadap album-album dari band-band itu. Saat yang lain tentang lagu-lagu terbaik dari band-band itu.Minat yang berkobar itu bisa dipahami. Musik yang mereka gemari kini hampir tak pernah lalu lalang di saluran-saluran umum. Perusahaan rekaman besar pun boleh dibilang tak tertarik lagi; untuk album-album baru, khususnya dari grup-grup asing, di sini lebih banyak yang berasal dari impor atau diperoleh dengan membeli langsung ke penjualnya di Internet. Tempat-tempat pertunjukan live music seperti kafe sama saja.Hard Rock Cafe Jakarta, menurut Andre, tadinya juga ragu dan mengusulkan ada band seperti Padi atau Dewa yang ikut main. "Tapi kami bisa meyakinkan bahwa musik seperti (yang disajikan) malam ini ada audiensnya dan mereka punya daya beli," katanya.Dari yang datang waktu itu, sebenarnya bisa seketika terlihat bahwa banyak penggemar rock sejati yang tidak serta-merta pensiun begitu masa remajanya--saat mereka mulai mengenal rock--lewat. Mereka yang sudah menjadi orang kantoran pun masih ada yang tak surut minat, bahkan mengikuti perkembangan mutakhir--dan menjadi makhluk aneh di lingkungannya. Indra Kusuma bisa jadi contoh. Karyawan Bank Mandiri berusia 52 tahun ini tak terpisahkan dari rock sejak jatuh hati pada Deep Purple dan Led Zeppelin saat baru masuk SMA, sebab "ya, cocok aja, selera".Dan Andre tak berlebihan: mereka punya daya beli. Sejumlah orang, misalnya, pada awal tahun ini beramai-ramai ke Singapura untuk menonton konser Dream Theater, satu di antara band-band progressive metal terbaik di dunia. Mereka juga ada di antara penonton seremoni i-Rock! Merekalah yang, menurut Andre, oleh Hard Rock Cafe Jakarta diakui termasuk dalam segmen baru yang tak terpikirkan sebelumnya. "Dan i-Rock! sudah menerima tawaran untuk bekerja sama lagi di event berikutnya," kata Andre.Berita bagus buat Sanz, Indra, juga penggemar rock dan metal lainnya. Tapi ada usul lain juga. "Kalau bisa, adain lagi tapi yang agak beda, di outdoor dengan jumlah band yang lebih banyak dan beragam," kata Sanz, yang yakin penonton pasti ada asal promosinya paling tidak sebulan di muka. l PURWANTO SETIADI